Lebih konyol lagi lebih dari 2.400 serdadu AS telah tewas, ditambah yang luka-luka dan cacat mental maupun fisik. Perang Amerika melawan Taliban yang didukung oleh NATO dimulai pada tahun 2001.
Setelah 18 tahun membombardir Afghanistan, Taliban belum juga bisa ditundukkan. Bahkan posisinya semakin hari semakin kokoh. Hal ini terlihat dari kemampuannya untuk menyerang dan lebih 50 persen wilayah Afghanistan masih dikuasainya.
Karena itu Washington terpaksa bersedia bernegosiasi dan berkompromi, agar segera bisa meninggalkan neraka yang bernama Afghanistan. Sejak Oktober tahun lalu, serangkaian dialog dan negosiasi antara Pemerintah Amerika dengan Taliban dimulai.
Utusan khusus Amerika keturunan Afghanistan General Zalmay Khalilzad bertemu langsung Mullah Abdul Ghani Baradar hari Rabu (21/08) di Doha ibukota Qatar. Abdul Ghani merupakan salah satu pendiri dan pentolan Taliban.
Pertemuan antara dua tokoh ini merupakan putaran kedelapan dari rangkaian perundingan yang diharapkan akan menghasilkan kesepakatan yang bisa dijadikan pegangan untuk penarikan pasukan Amerika agar segera bisa meninggalkan Afghanistan dengan aman.
Panjangnya rangkaian perundingan menunjukkan alotnya negosiasi yang berlangsung. Sementara Donald Trump ingin segera membawa pulang sekitar 14.000 tentaranya yang masih tersisa di Afghanistan, setelah penarikan besar-besaran pasukan Amerika atas perintah Presiden Amerika sebelumnya Barak Obama.
Masalah lain yang juga menjadi perhatian Washington dalam perundingan adalah permohonannya agar Taliban mau bernegosiasi dan berkompromi dengan pemerintahan di Kabul yang kini dipimpin oleh Ashraf Ghani yang dianggapnya sebagai boneka Amerika. Negosiasi diantara kekuatan politik di dalam negri Afghanistan diharapkan akan menghasilkan pembagian kekuasaan (power sharing).
Tampaknya Trump ingin membawa pulang pasukannya sebelum pemilu tahun depan, tentu dengan harapan agar dapat digunakan sebagai bahan kampanye yang diklaim sebagai prestasinya dalam kampanye menjelang pemilihan Presiden.
Bisa jadi dengan kepandaian tim kampanyenya dalam membangun narasi dan memilih diksi, rakyat Amerika akan terkecoh sehingga memandang kepulangan pasukannya dari Afghanistan sebagai bagian dari prestasi sang Presiden yang kini sedang mempersiapkan diri untuk maju yang kedua kalinya. Meskipun sejatinya hal tersebut merupakan sebuah kekalahan yang memalukan.
Bagi masyarakat internasional yang rasional dan cinta damai, tentu berharap Trump dapat mengambil pelajaran dari kekalahannya yang tragis di Afghanistan.
Dengan demikian ia tidak mudah mengulanginya di Iran saat ini, karena akibatnya tentu akan lebih parah lagi dibanding Afghanistan.
Penulis adalah pengamat politik Islam dan demokrasi.
BERITA TERKAIT: