Analisa kali ini hanya menitik-beratkan perseteruan antara Israel dengan Iran, yang sebenarnya sudah berlangsung cukup lama, baik dalam bentuk adu mulut saling mengancam secara terbuka, maupun adu senjata di wilayah Lebanon dan Suriah.
Kini perseteruan antara keduanya memasuki babak baru. Menurut sumber-sumber informasi non konvensional yang layak dipercaya, sebenarnya langkah Presiden Donald Trump mulai keluar dari kesepakatan JCPOA, sampai menggelar pasukannya secara besar-besaran di kawasan Teluk Persia, tidak bisa dilepaskan dari sukses lobi untuk tidak menggunakan istilah 'provokasi' Tel Aviv. Tentu yang paling layak mendapatkan acungan jempol adalah badan intelijen Israel yang bernama MOSSAD.
Donald Trump sebagai seorang politisi yang sangat pragmatis, yang selalu mengambil langkah politik untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya, tampaknya hanya bermaksud menggertak Teheran.
Tentu dengan asumsi bahwa Iran akan takut dan tunduk. Dengan demikian akan dibuat perjanjian baru pengganti JCPOA yang lebih menguntungkan Washington, baik secara politik, militer, dan tentunya ekonomi.
Akan tetapi, ketika Iran melawan, diikuti dengan unjuk kemampuan militernya yang tidak bisa lagi diremehkan, Washington mulai nampak gamang.
Keraguan Amerika untuk meneruskan langkahnya, bertambah bila mengingat pengalaman buruk yang dialaminya di Irak, Afghanistan, dan Suriah.
Amerika bukan saja mengalami kerugian besar dalam finansial, serta tentara yang tewas dan luka-luka, akan tetapi keluar sebagai pecundang, walau tidak pernah diakuinya secara terbuka. Amerika bisa memulai perang kapan saja, akan tetapi selalu kesulitan memyudahinya.
Dalam situasi seperti ini, Israel yang paling berkepentingan terhadap meletusnya perang besar, tentu tidak mau berpangku tangan. Ada sejumlah alasan, mengapa negara Yahudi ini sangat membenci Iran.
Pertama, situasi kondusif untuk menghantam Iran seperti saat ini tidak akan datang dua kali. Amerika dengan mesin perang dan prajuritnya trlah terlanjur siap tempur, didukung oleh Saudi Arabia, UEA, dan Bahrain. Kini Inggris berhasil diseret ke gelanggang untuk ikut mengeroyok Iran.
Kedua, Israel kewalahan menghadapi proxcy Iran di Lebanon yang bernama Hizbullah. Apalagi Hassan Nasrallah yang menjadi orang nomor satu Hizbullah selalu menantang dan mengancam Israel, setelah mempermalukan negara Yahudi ini dalam perang tahun 2006.
Ketiga, Israel telah mengakui ribuan kali telah melakukan serangan ke basis-basis Hizbullah dan Iran di Suriah. Akan tetapi, tentara Iran dan Hizbullah bukan saja tidak pernah kendur, bahkan semakin hari semakin kokoh.
Jika Tel Aviv gagal mengusir Hizbullah dan tentara Iran dari Suriah, maka bukan hanya Golan akan lepas dari pangkuannya dan kembali ke pangkuan Suriah, akan tetapi wilayah yang dipijaknyapun tidak aman. Apalagi Teheran berkali-kali bersumpah akan menghapus Israel dari peta bumi.
Israel kini dilengkapi dengan pesawat tempur siluman terbaru buatan Amerika F-35. Pesawat ini konon tidak bisa dideteksi radar, terbukti berkali-kali digunakan secara leluasa untuk menghajar posisi-posisi Hizbullah dan tentara Iran di Suriah.
Setelah leluasa bermanuver di atas langit Suriah, pada bulan Maret lalu Tel Aviv kemudian mengirimkan jenis pesawat yang sama ke langit Iran, sekedar untuk mengetes apakah radar Iran dapat mendeteksinya.
Dilaporkan pesawat-pesawat Israel telah memasuki wilayah Iran tanpa terdeteksi. Padahal Iran telah memiliki rudal buatan Rusia S 300 yang dilengkapi sistem radar. Generasi terbaru seri rudal ini adalah S 400 yang sangat ditakutkan Amerika maupun Israel belum dimiliki Iran. Di luar Rusia, baru China, India, dan Turki yang memilikinya. Boleh jadi S 400 sudah mampu melawan F-35, sehingga Amerika menentang habis-habisan ketika Turki memilikinya.
Pesawat-pesawat Israel berhasil mengambil foto udara sejumlah tempat penting seperti: Teheran, Karajrak, Isfahan, Shiraz, dan Bandar Abbas yang memiliki posisi sangat penting dari sisi militer.
Akibat kencolongan ini orang nomor satu Iran Ayatollah Ali Khamenei marah besar, kemudian mengganti secara mendadak Brigader General Fazad Ismail yang bertanggungjawab terhadap masalah ini.
Terakhir Israel menggempur pangkalan militer Ashraf di dekat kota Bagdad. Pangkalan ini digunakan oleh salah satu proxy Iran di Irak, yang bernama Al Badr yang dipimpin oleh Hadi Al Ameri.
Tel Aviv menuduh pangkalan ini digunakan untuk mensuplai rudal-rudal jarak pendek dan menengah yang digunakan baik oleh tentara Iran maupun Hizbullah untuk menghajar Israel dari Suriah dan Lebanon.
Disamping alasan yang dikemukakan di atas, bukan mustahil Israel juga ingin mengecek kemampuan radar Iran yang dipasang untuk melindungi proxy nya di Irak. Israel sadar bahwa keunggulan dirinya terletak pada pesawat tempurnya, dan yang ditakutkan dari Iran adalah ketangguhan rudal-rudalnya.
Rute yang paling aman bagi pesawat-pesawat tempur Israel untuk memasuki wilayah Iran adalah melewati udara Suriah, kemudian Irak, lalu masuk ke udara Iran. Alternatif lain yang lebih pendek adalah melalui udara Yordania, lalu Saudi Arabia, Irak, kemudian baru masuk ke udara Iran.
Rute kedua ini pernah dipakai pasukan komando Israel ketika menghancurkan reaktor nuklir milik Irak di Osirak dekat kota Bagdad. Akan tetapi rute ini berisiko tinggi kepergok radar Yordania atau Saudi Arabia. Hal ini hanya mungkin dipilih jika ada main mata diantara Tel Aviv, Aman, dan Riad.
Jika saatnya tiba, Israel akan mengirim sejumlah pasukan komando yang menggunakan pesawat tempur untuk menyerang Iran, tentu bukan untuk mengalahkan Iran. Akan tetapi hanya dengan dua tujuan: Pertama, untuk menghancurkan reaktor nuklir Iran dan pusat industri militer yang memproduksi rudal.
Israel sangat takut jika Iran sampai memiliki bom nuklir. Israel tidak ingin ada negara lain di Timur Tengah yang memiliki senjata nuklir, walaupun dirinya sendiri telah membuatnya. Begitu juga industri rudal Iran telah membuat seluruh penduduk Israel tidak pernah bisa tidur pulas.
Tujuan kedua, tentu serangan Israel dimaksudkan sebagai pelatuk untuk memantik dimulainya perang besar antara Iran dan musuh-musuhnya, terutama Amerika yang sampai saat ini belum seluruhnya kompak.
Sampai saat ini Iran masih menyembunyikan sebagian kemampuan militernya, termasuk bagaimana cara menghadapi F-35 milik Israel, yang boleh jadi akan menimbulkan kejutan bila perang benar-benar terjadi. Selain itu, posisi Rusia dan China yang bersebrangan dengan Amerika dan negara-negara NATO dalam banyak hal, sampai saat ini belum dinampakkan secara terbuka.
Walaupun dalam masalah militer Rusia bersekutu dengan Iran di Suriah, dan China menentang sangsi ekonomi Amerika terhadap Iran, keberpihakan dua negara raksasa ini bila perang terbuka terjadi, tentu akan mempengaruhi keseimbangan antara Israel/Amerika dan Iran.
Penuis adalah Pengamat Politik Islam dan Demokrasi
BERITA TERKAIT: