Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Etika Politik Dalam Al-Qur'an (47)

Pelajaran Diplomasi Publik (13)

Menahan Diri Tidak Banyak Bicara

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 19 Maret 2019, 09:28 WIB
Pelajaran Diplomasi Publik (13)
Nasaruddin Umar/Net
MENAHAN diri atau ber­puasa untuk tidak banyak bicara ternyata salahsatu strategi penting di dalam berdiplomasi. Orang yang ceplas ceplos, tidak kuat menahan uneg-uneg di dalam pikiran dan hatinya, tidak pantas dan tidak bisa menjadi diplomat. Mung­kin itulah sebabnya mengapa Al-Qur'an me­nyerukan orang untuk tidak banyak meng­umbar pembicaraan yang hampa makna dan Nabi pun sangat menekankan perlunya me­nahan diri untuk tidak banyak bicara.

Menarik untuk diperhatikan dalam ayat: "Dia (Zakaria) berkata: Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda, (Allah) berfirman, "Tanda­mu ialah engkau tidak dapat berbicara den­gan manusia selama tiga malam, padahal engkau sehat" (Q.S. Maryam/18:10). Fir­man Allah ini menunjukkan bahwa menah­an diri untuk tidak berbicara kepada manu­sia, ternyata sesuatu yang sulit. Apalagi jika ada obyek pembicaraan yang menarik untuk dibicarakan. Bahkan Al-Qur'an menyerukan kita untuk sesekali berada dalam suasana sunyi senyap untuk mengingat Allah swt, sebagaimana dalam firman-Nya: "Sunyi se­nyaplah segala suara karena (takut) kepada Allah Yang Maha Pengasih, sehingga tiada Engkau dengan kecuali suara halus (bunyi telapak kaki)". (Q.S. Thaha/20:108).

Dalam hadis Nabi juga ditemukan be­berapa hadis yang menasehatkan agar kita membatasi diri untuk bicara, apalagi bicara sembarangan. Rusulullah bersabda: "Ba­rangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhirat maka hendaklah berkata den­gan baik atau lebih baik diam". Seruan dan peringatan Allah Swt dan Rasul-Nya agar manusia membatasi diri untuk bicara, teru­tama jika yang dibicarakan itu menyangkut aib atau fitnah yang dapat menghancurkan nama baik orang lain, sangat banyak menda­patkan penekanan. Ini bisa dimaklumi bawha pembicaraan yang dapat menjadi malapeta­ka orang lain selalu terjadi di dalam sejarah umat manusia.

Perumpamaan yang amat buruk bagi orang yang tega menghancurkan orang lain mela­lui fitnah dan tudingan disebutkan di dalam Al-Qur'an: "Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, ses­ungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kes­alahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu me­makan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguh­nya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang." (Q.S. al-Hujurat/49:12). Den­gan terang-terangan mengungkapkan aib atau memfitnah orang lain semakin marak terlihat di dalam masyarakat, terutama set­elah media massa begitu marak. Ironisnya, perbuatan yang tercela ini paling banyak di­minati oleh para pemirsa. Perhatikan media infotainmen yang ditayangkan oleh hampir semua TV, baik TV publik maupun TV ber­langganan. Yang paling banyak menyedot pemirsa ialah tayangan ini. Isi tayangan itu ialah pengungkapan hal-ihwal para selebriti, pejabat, dan tokoh-tokoh publik lainnya. Iai pemberitaan tersebut hampir semuanya ten­tang hal-hal yang miring yang dapat memo­jokkan orang lain. Jika tradisi pengungkapan aib, fitnah, dan gosip ini dibiarkan menjadi bagian dari budaya masyarakat kita maka pertanda kita membudayakan sesuatu yang sesungguhnya amat dicela di dalam agama. Dunia diplomasi harus menghindari tradisi yang negatif seperti dilarang Al-Qur'an dan hadis di atas.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA