Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Alasanologi Sandyawan Sumardi

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/jaya-suprana-5'>JAYA SUPRANA</a>
OLEH: JAYA SUPRANA
  • Rabu, 13 Maret 2019, 05:51 WIB
Alasanologi Sandyawan Sumardi
Sandyawan Sumardi/Net
KETIKA TNI dan Polri sepakat untuk bersikap netral maka berbagai pihak yang menganggap memilih adalah bukan hak namun kewajiban, mencemaskan dan menyayangkan Sandyawan Sumardi bersikap netral pada pemilihan umum 2019. Mari kita simak alasanologi sang tokoh pejuang kemanusiaan bersikap netral dari pernyataan beliau yang saya copas ke dalam naskah yang sedang Anda baca ini.

Tidak Netral

Dear teman-teman yang begitu menyemaskan dan menyayangkan bahwa saya bersikap netral dalam Pemilu 2019. Argumentasi dan anjuran teman-teman bisa saya difahami. Tapi sebenarnya saya sama sekali  tidak netral. Sudah sejak lama saya memilih lebih "concern" pada "politik substansial" ketimbang "politik supervisial".

Politik substansial itu politik yang secara nyata lebih mengurus perkara perjuangan hidup kontekstual sehari-hari rakyat kecil yang nyata: masalah tanah, lingkungan hidup, perkara keadilan ruang, masalah pangan, masalah air, sanitasi, udara bersih, masalah kesehatan ibu dan bayi, masalah kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, hak bermukim, ancaman penggusuran, irelevansi program-program pemerintah yang langsung berkenaan dengan hak ulayat peri kehidupan rakyat banyak..dsb.

Politik supervisial di negeri ini oleh orang-orang kecil -kecil di perkotaan, di pedesaan, petani, buruh, masyarakat adat seperti di Papua (setidaknya yang saya kenal sejauh ini) lebih sangat terasa dialami dalam peristiwa perhelatan Pilkada dan Pemilu yang hanya berapa tahun sekali itu.

Trance

Orang kebanyakan di negeri ini, tanpa sadar seperti sedang diajak untuk menjadi trance dalam political bargaining para elit politik saja, seakan rakyat kebanyakan tanpa sadar  oleh sistem politik berbiaya sangat tinggi yang sedang menggila ini dipaksa untuk lepas menjauh dari kenyataan tantangan hidup sehari-hari. Seakan seluruh hidup kita hanya ditentukan oleh satu peristiwa Pilkada/Pemilu!

Kalau kami para pekerja kemanusiaan jadi sibuk bingung dan ikut stress dengan Pemilu ini, apakah teman-teman yang baik mau menggantikan posisi kami untuk menemani suka-duka proses perjuangan kaum miskin urban di Jakarta untuk memperoleh hak atas tanah dan pemukimannya sendiri, seperti warga Bukit Duri korban penggusuran paksa itu?

Siapa yang mau menggantikan kami, kawan-kawan pekerja kemanusiaan, untuk terus-terusan tahan mendengarkan pengaduan dan protes, menampung amarah dan frustrasi para warga petani di area-area pertambangan dan pembangunan infrastruktur yang tanah dan hak ulayatnya "dimakan" begitu saja oleh para pengembang sawit misal, melalui aparat polisi dan militer, tanpa ganti-rugi sama sekali dan justru sering dengan kekerasan dan jatuh cukup hanyak korban?

Konflik Agraria

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sedikitnya 364 orang menjadi korban dari konflik agraria di Indonesia sepanjang 2018. Dari jumlah tersebut,  sepuluh orang petani dan pejuang agraria telah terbunuh. Enam orang tertembak karena konflik agraria. Kemudian, ada 132 orang yang terdiri dari 115 laki-laki dan 17 perempuan mengalami tindakan kekerasan fisik atau penganiayaan.

"Sebanyak 216 orang ditahan tanpa prosedur yang jelas," kata Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika di Jakarta, Kamis (3/1/2019).

Sangat tidak mudah mengambil peran sebagai jembatan komunikasi antara para korban sistem pembangunan dengan para pengambil keputusan di negeri ini. Seakan oleh peristiwa pemilihan politik ini, kita semua harus mengamini untuk hidup dalam dunia maya tontonan pesta para investor, negara dan tentara. Apakah memang kita semua sudah sefaham dan menerima nasib bahwa hidup kita ternyata harus menjadi menjadi obyek penderita yang dikendalikan oleh sistem oligarki para pemilik modal/investor, birokrasi negara, partai politik besar, dan aparatus coertus alias militerisme. Dan kita tanpa sadar cenderung mudah sekali memahami serta memaafkan kalau politisi ber-hoax-hoax ria, kalau politisi dengan enteng tidak memenuhi janji kampanye, kalau para politisi dengan modal uang besar selain melakukan "money politics", juga lewat penguasaan media-media besar (mainstream) melakukan penggiringan opini, bahwa orang kecil, orang kebanyakan di negeri ini sudah seharusnya berkorban (baca: "dikorbankan") untuk kepentingan umum, kepentingan seluruh NKRI harga mati?

Saya lebih memilih untuk menjadi diri sendiri, mendengarkan nurani dan akal sehat sendiri.. sekuat tenaga, betapapun tersaruk-saruknya, belepotan dan banyak susahnya.

Nyepi

Saya ingin ambil jarak dulu, "nyepi", masuk dalam alam puasa dan matiraga. Sama sekali bukan demi kesuci-sucian, dan kebaikan moral pribadi. Saya ingin lebih berani untuk mendidik diri sendiri supaya lebih terbuka dan rendah hati dalam kehadiran di tengah masyarakat. Saya menyatakan ini semua sama sekali tak ada hubungannya dengan sikap kurang harapan, kurang punya pandangan positif, apalagi keputusasaan dan kebencian. Terbukti sejauh ini saya tetap menjalin dialog intensif juga dengan para "stake-holders" (pemangku kepentingan), bukan hanya dengan "ordinary people" tapi juga dengan para akademisi, praktisi, para pengusaha pengembang, para politisi dan pemimpin di republik ini.

Justru dengan sikap "bebas" otonom saya seperti ini, sampai sekarang, membuat saya masih bisa berkomunikasi langsung dan tidak langsung dengan pak Jokowi, dengan birokrasi pemerintahan, dengan partai-partai oposisi, dlsb., untuk mengusulkan solusi-solusi kontruktif alternatif, misalnya perwujudan konsep desain "Kampung Susun Berbasiskan Koperasi" sebagai "pilot project" untuk solusi krisis pemukiman bagi kaum miskin urban di perkotaan. Karena saya mencintai Bunda Bumi negeri ini..

(Jakarta, 9 Maret 2019. I. Sandyawan Sumardi)

Mohon Dimaafkan

Mohon para peyakin bahwa memilih adalah bukan hak namun kewajiban berkenan memaafkan saya yang makin tua makin naif dan cengeng ini merasa terharu akibat membaca penjelasan Sandyawan Sumardi. Mohon dimaafkan bahwa penjelasan mahaguru kemanusiaan saya mengenai alasan dirinya memilih tidak menggunakan hak untuk memilih yang demi berpihak ke wong cilik dan kaum miskin sesuai arahan ajaran kasih-sayang Jesus Kristus itu mengingatkan saya pada  ajaran kasih-sayang Jesus Kristus lainnya lagi yaitu "jangan menghakimi".

Pada hakikatnya jangan menghakimi bersama Ojo Dumeh dan Jihad Al Nafs merupakan kesatuan tiga falsafah pedoman budi pekerti yang senantiasa menyadarkan saya agar senantiasa berupaya tidak gegabah bersikap adigang, adigung, adiguna maka terkebur menghakimi sesama manusia akibat memang jauh lebih mudah bagi saya untuk melihat kekurangan orang lain ketimbang kekurangan diri saya sendiri selaras makna peribahasa: gajah di pelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak."rmol news logo article

Penulis sedang nyantrik kemanusiaan kepada Sandyawan Sumardi

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA