Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Delegitimasi KPU Itu Maksudnya Apa? Yang Mendelegitimasi KPU Siapa?

Netralitas Penyelenggara Pemilu Sedang Diuji

Senin, 14 Januari 2019, 08:44 WIB
Delegitimasi KPU Itu Maksudnya Apa? Yang Mendelegitimasi KPU Siapa?
Foto/Net
rmol news logo Serangan kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) belakangan makin intens dan mematikan. Mulai dari gangguan kecil-kecilan terhadap tahapan pemilu, kritik kepada KPU yang dianggap berpihak karena membatalkan agenda penyampaian visi-misi, serta kebijakan pemberian kisi-kisi debat capres-cawapres, hingga soal isu besar terkait tujuh kontainer berisi surat suara yang sudah tercoblos.

Kritik dan serangan itu dimaknai oleh Ketua KPU Arief Budiman sebagai upaya untuk mendelegitimasi penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU. Tujuannya agar masyarakat tidak percaya dengan KPU. Dalam menyikapi kritik Arief mengatakan, KPU bukannya tidak mau menerima kritik dari publik. Dia hanya berharap hendaknya setiap kritik yang disampaikan harus ber­dasarkan fakta dan data. Dia tidak mau kritik disampaikan dengan sembarangan, karena bisa mengganggu jalannya pemilu.

Untuk menghadapi isu pendelegitimasian ini, KPU di-back up penuh oleh seluruh kader partai koalisi, pendukung hingga timses pasangan capres-cawapres 01 Jokowi-Ma'ruf Amin. Bahkan Jokowi selaku Presiden me­merintahkan Kapolri Jenderal Tito Karnavian untuk menindak tegas pihak-pihak yang ingin mendelegitimasi KPU.

Upaya mendelegitimasi atau minimal menjelek-jelekkan KPU sebetulnya pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Bahkan PDIP yang kini membela lembaga itu pernah melakukannya. Itu terjadi ketika partai ber­lambang banteng hitam bermoncong putih itu berstatus oposisi.

PDIP pernah menyerang KPU pada tahun 2009. Waktu itu fraksi PDIP di DPR sepakat menindaklanjuti rekomendasi panitia Hak Angket Daftar Pemilih Tetap Periode 2004- 2009. PDIP sepakat untuk mengikuti reko­mendasi panitia: memberhentikan ketua dan anggota KPU karena dianggap tak becus menyelesaikan persoalan daftar pemilih tetap. "Kualitas KPU sekarang jauh di bawah kuali­tas KPU sebelumnya," kata salah seorang kader PDIP.

Pun ketika mereka kembali jadi oposisi sejak 2009-2014. Kritik PDIP semakin keras dan sering. Pada 2012, mereka mengkritik penggunaan Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) KPU yang menyebut itu justru mem­buat proses verifikasi jadi berantakan. Satu tahun kemudian, mereka mengkritik KPU karena bekerja sama dengan Lembaga Sandi Negara (Lemseneg). Mereka menilai kerja sama yang tujuannya untuk mengamankan data Pemilu 2014 bisa jadi alat manipulasi dan propaganda parpol tertentu.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri juga pernah mengkritik KPU secara terbuka setelah hari pencoblosan Pemilu 2014. Dia menuding KPU telah 'bermain'. "Jangan KPU yang bermain, dan pada kenyataannya pada tahap pertama ini kejadian itu ada," kata Megawati. "Buktinya banyak yang ke MK," tambahnya.

Tetapi apa yang PDIP lakukan di masa lalu, bagi Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, bukan upaya mendelegitimasi KPU. Bagi dia itu semata kritik dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan KPU saat itu. Menurut Hasto, baik saat jadi oposisi atau partai penguasa, PDIP akan tetap mengkritik kebijakan dari penyelenggara pemilu jika memang ada yang salah.

Banyak kalangan menilai posisi KPU memang selalu terhimpit oleh dua kelom­pok yang sedang berkompetisi. Apa pun kebijakan yang dikeluarkan KPU, pasti akan ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan dan dirugikan. Dan kubu oposisi biasanya memang merasa jadi pihak yang dirugikan. Sama halnya dengan isu terkait model debat capres-cawapres yang dirumuskan KPU saat ini dianggap menguntungkan petahana, maka oposisi akan mengkritiknya. Meski demikian, kritik terhadap kebijakan yang dikeluarkan KPU itu dianggap wajar selama tak meng­ganggu kinerja.

Mantan Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay punya pendapat lain terkait kondisi KPU saat ini. Bagi dia, saat ini titik lemah KPU adalah soal komunikasi dan profe­sionalitas. Ini yang membuat mereka rentan dikritik. Meski KPU nantinya mengklaim bekerja dengan baik, namun akan tetap ada ketidakpercayaan dari proses dan hasil pemilu itu. Lantas apakah betul ada gerakan-gerakan untuk mendelegitimasi KPU? Lantas apa langkah yang diambil KPU guna menga­tasi upaya delegitimasi tersebut? Bagaimana pula tanggapan mantan komisioner KPU atas pernyataan KPU ini? Berikut penuturan lengkapnya.

Hasyim Asyari: Proses Pemilu Hancur Itu Maksud Delegitimasi

Betul KPU merasa ada pihak yang berusaha mendelegitimasi?

Begini ya, yang mempunyai wewenang untuk mencetak surat suara kan KPU. Kemudian yang diberi tugas menjaga keamanannya kan KPU. Lalu yang diberi tugas pada nanti hari pemungutan suara, untuk mendistribusikan surat suara dan yang menggunakan juga KPU. Begitu dikabarkan bahwa ada surat suara dalam jumlah yang sangat be­sar. Ada tujuh kontainer yang total jumlahnya kira-kira sampai puluhan juta. Kalau pemilih kita di dalam negeri ada 190 juta, lalu dengan asumsi berdasarkan pemilu yang lalu yang hadir sekitar 75 persen, dan ada 70 juta sudah dicetak itu sudah lebih dari separuh suara sah. Itu artinya apa? Proses yang sebetulnya belum terjadi, tapi dikabarkan sudah ter­jadi. Ya kemudian legitimasi proses pemilu kan menjadi hancur. Itu yang dimaksud dengan mendelegitimasi pemilu, dan mendelegitimasi penye­lenggara pemilu.

Kenapa sampai bisa hancur?
Karena itu kan sama saja seolah-olah KPU yang diberi mandat tidak amanah. Maka kemudian karena ada tuduhan seperti itu, ada kabar seperti itu, KPU ingin memastikan, benar enggak sih kabar itu. KPU kemudian memeriksa kepada pihak yang ber­wenang menyelidiki hal itu.

Dan dipastikan itu tidak benar. Walaupun sebelumnya KPU juga sudah meyakini kabar itu tidak benar ya. Karena surat suara saja belum dicetak, kok dikabarkan sudah di­coblos. Dan dikabarkan cetakannya dari luar negeri pula. Padahal, semua produksi rencananya dilakukan di dalam negeri.

Kira-kira siapa pihak yang melakukan upaya tersebut?
KPU enggak bisa menganalisis sampai ke sana. Walaupun feeling-nya ada, tapi kami enggak men­ganalisis sampai ke sana.

Kalau motifnya kira-kira apa?
Kami enggak tahu pasti soal itu, coba tanya ke yang bikin. Jangan tanya ke yang dibikin-bikin begini. Tugasnya KPU kan, menjaga agar baik proses maupun hasilnya itu berintegritas. Kalau kemudian ada proses yang dibegitukan, itu kan KPU harus jagainlah, supaya integ­ritas pemilu tetap terjaga.

Tapi KPU sendiri apakah mera­sa upaya mendelegitimasi ini semakin masif dilakukan?
Oh iya pasti, semakin banyak. Karena kan pemilu semakin dekat, semakin banyak yang mencoba. Karena yang otoritatif menyeleng­garakan pemilu itu kan KPU.

Ada yang menilai KPU berlebi­han saja dalam menanggapi kritik hingga menyebutkan ada upaya delegitimasi?
Kami tidak reaktif, apalagi se­bagian orang bilang over reaktif. Tidak, kami sangat pertimbangkan matang. KPU itu bukan sekali atau dua kali diserang hoaks. Tapi biasanya kami enggak merespons. Hanya saja, soal tujuh kontainer menurut kami meresahkan, kar­ena tudingannya sudah mengarah. Bahkan di salah satu akun menye­butkan KPU menyita satu kontainer. Itu kebohongan luar biasa, karena itu kami harus ambil sikap. Kalau KPU tidak melakukan sesuatu yang buruk kemudian dihebohkan, dikata-katain seolah-olah lakukan yang buruk, itu delegitimasi KPU.

Lalu apa upaya yang dilakukan oleh KPU untuk menghadapi dele­gitimasi ini?

Yang pertama kami harus me­mastikan untuk tetap bekerja sesuai aturan perundang-undangan. Yang kedua memperlakukan semua pe­serta pemilu secara setara. Yang ketiga, berusaha setransparan mung­kin. Transparan dalam arti begini, publik bisa membuka data yang ada, dan KPU juga harus membuka diri terhadap data dan dokumen, yang memang boleh atau dapat diakses publik.

Mardani Ali Sera: KPU Bekerja Saja Sesuai Aturan, Tak Perlu Takut

KPU kan merasa sedang ada upaya untuk mendelegitimasi mereka. Apa tanggapan Anda soal ini?

Pertama, KPU bekerja saja sesuai aturan, dan tidak perlu takut terhadap segala respons yang ada. Karena KPU sudah punya otoritas. Yang kedua, kalau berkembang banyak diskusi ter­hadap KPU saya rasa ini bagus. Justru hal itu membuat KPU jadi pusat perhatian, jadi tinggal membuktikan dengan kinerja, dengan transparansi, akuntabilitas, dan juga netraitasnya. Kalau sudah begitu Insyaallah, KPU akan kokoh.

Tapi menurut Anda apakah betul sedang ada upaya mendelegitimasi KPU?
Saya yakin tidak ada. Karena jadwal berjalan semua, kemudian aturan dilaksanakan semua. Bahwa ada dinamika, komen, ada diskusi ini hal yang biasa. Jadi biasakan kita selalu memiliki ruang untuk diskusi dan dinamika.

Tapi menurut Ace Hasan Syadzily ada upaya dari kubu Anda untuk mendelegitimasi KPU?
Tidak, tidak sampai delegitimasi. Tetapi ada kesepakatan, yang mung­kin punya tafsir yang beda. Contohnya kami sudah sepakat, oke bahwa nanti akan ada penjelasan tentang kisi-kisi. Tapi ternyata bentuknya menyerah­kan pertanyaan, kan beda. Untuk itu, agar tidak ada polemik, walaupun buat saya polemik sesuatu yang baik ya, sehingga masyarakat tahu ternyata yang namanya ini penting, sebelum debat saja sudah banyak kontroversi. Oleh karena itu, mes­tinya kedua belah pihak sama-sama membuat SOP, dalam pertemuan itu. Walaupun sebetulnya, kalau KPU mau dengan PKPU itu sudah selesai, karena dengan UU pemilu itu turunannya PKPU, perbawaslu, itu mutlak menjadi kewenangan mereka. Jadi pasangan nomor urut 01 dan 02 mestinya nurut saja.

Dinamikanya kan dipersoalkan oleh KPU karena jauh dari fakta, contohnya soal surat suara yang sudah dicoblos. Bagaimana tang­gapan Anda soal ini?
Ya kan sudah ada penegakan hu­kum, satu. Yang kedua, biarkan saja komen itu kan sekarang tidak dilarang. Memang ini zaman semua bisa bicara, apalagi dengan semakin maraknya media sosial. Yang penting seluruh aturan, dan agenda KPU bisa dilaksanakan dengan baik.

Memang menurut Anda polemik yang ada saat ini masih wajar ya, sehingga KPU cukup terus bekerja saja?
Kalau yang surat suara kan sudah mulai ditegaskan, bahwa itu domain­nya kepolisian, atau penegak hukum. Jadi biarkan polisi melanjutkan penyelidikan, dan menuntaskan masalahnya. Pokoknya, semua berita hoaks yang membuat keributan, kalau masuk ranah pidana pemilu monggo dilanjutkan. Kalau enggak termasuk ITEjuga monggo dilanjutkan oleh kepolisian. Tapi KPU tidak perlu khawatir, semua sudah diatur dalam undang-undang, dinikmati saja.

Berarti Anda minta KPU fokus saja menjalankan tugasnya, se­mentara sisanya serahkan kepada aparat?
Iya, jadi mereka enggak usah menanggapi dinamika yang ada, dan fokus saja kepada pekerjaan mereka. Biar kan saja publik yang menilai. Jika memang ada upaya mendele­gitimasi, publik yang akan melawan pihak yang mendelegitimasi tersebut. Karena KPU-nya sudah bekerja dengan benar. Tapi kalau tugasnya enggak dituntaskan dengan baik, agak repot. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA