Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membaca Trend Globalisasi (28)

Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Menawarkan Konsep Deradikalisasi Ala Indonesia

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Jumat, 04 Januari 2019, 09:43 WIB
Karakter Khusus Nilai Universal Islam: Menawarkan Konsep Deradikalisasi Ala Indonesia
Nasaruddin Umar/Net
DALAM artikel terdahulu pernah dijelaskan bahwa radikalisme adalah salah­satu anak kandung global­isasi. Tidak semua negara sukses mengelola radikal­isme. Indonesia, oleh para pengamat asing dianggap sebagai salahsatu negara yang sukses di dalam men­erapkan program deradikalisasi di dalam mena­ta masyarakatnya. Program deradikalisasi di In­donesia tidak menimbulkan kesan deislamisasi atau dearabisasi. Kedua isu ini sering menjadi tantangan tersendiri di dalam mengelola de­radikalisasi kelompok sempalan.

Di media-media sosial barat, sering menyudutkan Islam sebagai agama. Seolah-olah yang teroris agama Islam dan umat Islam hanya se­bagai korban atau victim. Lebih khusus lagi ke­san deradikalisasi ialah dearabisasi, dalam arti penafian terhadap atribut-atribut Arab. Tidak heran kalau yang sering disorot ialah ayat-ayat atau hadis-hadis yang dipenggal-penggal atau dihilangkan sabab nuzulnya, sehingga kehilan­gan keutuhan konsep holistik ayat atau hadis tersebut.

Deradikalisasi yang berkeindonesiaan berto­lak dari kenyataan bahwa esensi dan substansi ajaran Islam, sebagaimana tercermin di dalam Al-Qur'an dan hadis, tidak pernah mengajar­kan radikalisme apalagi terorisme. Yang men­jadi masalah sesungguhnya ialah oknum yang memahami ayat-ayat dan hadis secara keliru atau sengaja untuk mendukung ideologi yang dikembangkan penganjurnya, seperti gerakan ISIS dan semacamnya, yang sekarang sedang hangat dibicarakan. Para penganjur Islam di Nusantara di Indonesia sejak awal tidak per­nah menghalalkan segala cara di dalam me­nyebarkan agama Islam. Para penganjur Islam pertama menganggap gerakan islamisasi harus dianggap sebagai sesuatu yang berkelanjutan (on-going process).

Jika peroses pengislaman pada masa Proto-Indonesia sebatas pengenalan doktrin dan filo­sofi ajaran Islam yang diperkenalkan oleh orang-orang arif seperti para Wali Songo, maka pada masa-masa sesudahnya harus dilanjutkan den­gan pemahaman dan kesadaran syari'ah yang lebih kontekstual, sebutlah yang berkeindone­siaan. Para penganjur awal Islam di Nusantara kita telah mencatat sejarah gemilang, selain berhasil memperkenalkan dan sekaligus meng­islamkan mayoritas penghuni bangsa Indone­sia, juga mereka berhasil melakukan peroses penusantaraan ajaran Islam di Indoneisa. Kata Nusantara lebih menyiratkan budaya maritime (maritime culture), yang lebih bercorak egali­terian sedangkan Islam ketika itu masih didan­dadni dengan budaya continental (continental culture), yang sarat dengan kerumitan strati­fikasi sosial yang berlapis-lapis, sebagaimana lazimnya negara-negara daratan.

Meskipun pada umumnya para penganjur Is­lam di masa awal itu adalah orang-orang Arab, Persia, dan India, tetapi rata-rata mereka mer­angkap sebagai pedagang yang sudah ber­pengalaman akrab dengan masyarakat nusan­tara. Mereka memahami betul kondisi obyektif wilayah kepulauan Nusantara, sehingga mer­eka sadar bahwa tidak tepat meng-copy-paste ajaran Islam Timur-Tengah untuk serta merta dijabarkan di kepulauan Nusantara ini. Mere­ka sadar dan memahami bentuk-bentuk keari­fan local, sehingga mereka memandang perlu memperkenalkan Islam dari aspek doktrin dan nilai-nilai universalnya. Bukannya mereka me­mulai dari konsep syari'ah yang cenderung muatan besarnya adalah fikih.

Ketika Indonesia merdeka, terjadilah peruba­han sosial di tengah masyarakat.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA