Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Membaca Trend Globalisasi (6)

Strategi Menembus Lapis Kultur Lokal

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 10 Desember 2018, 08:50 WIB
Strategi Menembus Lapis Kultur Lokal
Nasaruddin Umar/Net
HAL yang paling menakjub­kan dari Islam ialah kemam­puan menembus dan ber­adaptasi dengan lapis-lapis kultur lokal. Sulit dibayang­kan Islam yang sarat dengan ajaran universal bisa begitu cepat eksis menjadi "tuan rumah" di tengah pluralitas kearifan lokal. Dalam waktu relatif sangat singkat Islam sudah menembus batas-batas geografis di Kawasan Timur-Tengah. Begitu kuatnya pengaruh Islam, dalam waktu singkat bisa menggantikan posisi Bahasa Ibu dari non-Arab menjadi Bahasa Arab. Contoh konkrit Mesir dan negeri muslim lainnya di Kawasan Afrika.

Misteri kekuatan adaptasi Islam ini diungkap secara sangat indah oleh S.H. Nasser dalam Ideal and Realities of Islam. Ia melukiskan adaptasi dan sinkronisasi antara nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan budaya dan peradaban lokal dalam lintasan sejarah peradaban dunia Islam. Satu sama lain tidak saling mengorbankan tetapi saling mengisi dan sangat menguntungkan untuk dunia kemanu­siaan. Menurutnya, antara keduanya tidak perlu diperhadap-hadapkan karena nilai-nilai universal Islam bersifat terbuka, dalam arti feleksibel dan dapat mengakomodir berbagai nilai-nilai lokal. Bukti keterbukaan itu, Islam dapat diterima dari Timbektu, ujung barat Afrika sampai Merauke, ujung Timur Indonesia.

Islam adalah sebuah ajaran yang membawa peradaban kemanusiaan. Disebut apa saja peradaban itu asal sejalan dengan nilai-nilai universal, atau yang biasa juga disebut ajaran dasar Islam, dapat diterima sebagai peradaban Islam. Mungkin memang pada awalnya ada suatu masa penyesuaian tetapi masa itu tidak perlu terlalu lama karena esensi nilai-nilai Islam sejalan dengan asas kemanusiaan. Tidak heran jika Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dapat menyaksikan sendiri ajaran agama yang dibawanya menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Peran proaktif Nabi Muhammad Saw sebagai the best leader dan the best manager bukan sangat menentukan. Ia membangun dari nol dengan tetap melestarikan yang sudah baik dan mengembangkan yang masih sederhana, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi: Innama bu’itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlaq ialah sebuah kreasi yang positif, apakah itu berupa benda atau non benda. Dengan demikian, nilai-nilai lokal tidak perlu terancam dengan kehadiran Islam. Kearifan lokal sesungguhnya juga adalah kearifan Islam. Dalam Islam, tidak mempertentangkan antara kearifan lokal dan nilai-nilai universal, yang penting untuk mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan.

Ketegangan konseptual terjadi mana kala nilai-nilia universal difahami secara kaku di satu sisi, sementara di sisi lain berhadapan dengan fanatisme buta penganut nilai-nilai lokal. Pemandangan seperti ini sering terjadi tetapi biasanya dapat diselesaikan dengan kearifan tokoh penganjur kedua belah pihak. Titik temu atau jalan tengah biasanya diambil melalui persepakatan adat-istiadat setempat. Dalam Islam hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta-merta harus dilakukan sekaligus. Tuhan Yang Maha Kuasa pun mem­beri waktu 23 tahun untuk turunnya keseluruhan ayat Al-Qur'an. Penerapan nilai-nilai Islam dike­nal prinsip tadarruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur, tahap demi tahap. Selain itu juga dikenal dengan sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA