Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Reaktualisasi Nilai-Nilai Antikorupsi Melalui Upaya Preventif

Kamis, 11 Oktober 2018, 09:48 WIB
FENOMENA mengenai penyelenggara negara yang terjerumus dalam tindakan koruptif merupakan hal yang sangat lumrah dan ironisnya dapat dikatakan telah akut. Seperti yang kita ketahui dalam satu bulan terakhir saja berita mengenai tindakan perilaku koruptif penyelenggara negara telah banyak menjadi perhatian.

Pertama, penetapan 22 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka penerima suap. Rombongan wakil rakyat itu menyusul 19 rekannya yang lebih dulu dijerat. Hingga saat ini, dari total 45 anggota DPRD Kota Malang, ada 41 anggota yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Mereka diduga menerima uang dengan jumlah kisaran Rp 12,5 juta hingga Rp 50 juta yang berasal dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton, yang juga telah menjadi tersangka. Duit itu diduga diberikan Anton terkait pengesahan RAPBD Kota Malang tahun 2015.

Kedua, Kejaksaan Negeri (Kejari) Mataram telah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap oknum dengan inisial HM yang merupakan politikus Partai Golkar yang terbukti telah melakukan pemerasan kepada HS dan CT terkait dana proyek senilai Rp 4,2 miliar yang dianggarkan dari APBD Perubahan tahun 2018 kemudian dialokasikan untuk perbaikan 14 gedung SD dan SMP terdampak bencana gempa bumi di Kota Mataram.

Ketiga, berita mengenai penggeledahan rumah dinas dari Bupati Malang Rendra Kresna yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Tepatnya di Pendopo Agung Kabupaten Malang di Jalan Agus Salim, Kota Malang serta rumah pribadinya yang ada di Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang. Dalam hal ini Bupati Malang Rendra mengaku telah disangka menerima gratifikasi dari rekanan atau kontraktor dan juga Dana Alokasi Khusus (DAK) pendidikan tahun 2011. Namun dari pihak Komisi Pemberantasan Korupsi belum memberikan konfirmasi terkait status Rendra Kresna sebagai tersangka.

Adapun contoh kasus yang hampir sebulan terakhir menjadi perhatian publik, menunjukan bahwa telah terjadi degradasi nilai-nilai antikorupsi. Sebagaimana kita ketahui nilai-nilai antikorupsi pada umumnya mencakup sebagai berikut: a. Nilai-nilai Kejujuran; b. Nilai Kepedulian; c. Nilai Kemandirian; d. Nilai Kedisiplinan; e. Nilai Tanggung Jawab; f. Nilai Kerja Keras; g. Nilai Kesederhanaan; h. Nilai Keberanian; i. Nilai Keadilan.

Dalam hal ini sering kita memaknai bahwa nilai-nilai antikorupsi harus diterapkan pada tahap penindakan secara langsung (represif) terhadap pelaku koruptif. Menurut penulis hal tersebut tidaklah selalu tepat, nilai-nilai antikorupsi ini, lebih tepatnya diterapkan pada tahap pencegahan (preventif).

Reaktualisasi nilai-nilai antikorupsi dengan pendekatan pencegahan (preventif) merupakan suatu keniscayaan tatkala kasus korupsi semakin menjadi tak ada ujungnya jika dianalogikan korupsi seperti sebuah penyakit, korupsi merupakan penyakit yang tak ada obatnya tak akan pernah sembuh. Hal ini didukung argumen bahwa upaya pemerintah dalam memberantas tindak korupsi dengan cara penindakan yang sudah pada tingkat akut di negeri ini, masih belum mampu mengurangi perilaku koruptif dan dinilai belum optimal.

Korupsi yang merajalela di setiap elemen, baik di tingkat pemerintahan, masyarakat, sekolah, dan instansi lainnya seolah-olah telah menjadi hal yang dianggap biasa dari kehidupan kita. Oleh karena itu reaktualisasi nilai-nilai antikorupsi dapat dilakukan dengan pendekatan upaya preventif.

Salah satu cara dalam implementasi pencegahan (preventif) adalah melalui sarana edukatif yang dilakukan oleh sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang dalam hal ini merupakan pusat pendidikan yang mampu melaksanakan pendidikan antikorupsi terutama dalam membudayakan perilaku antikorupsi terhadap setiap individu yang berada di lingkungan akademik. Tentunya dalam hal ini peran aktif pendidik (guru atau dosen) harus mampu membangkitkan rasa ingin tahu (curiosty) siswa tentang urgensi materi ini, sehingga mereka dapat menjauhi perilaku koruptif.

Selain itu menurut penulis, guru dan dosen bukan hanya memberikan materi ini sebatas tentang nilai-nilai antikorupsi dan beratnya hukuman bagi pelaku korupsi. Guru dan dosen dituntut harus memberikan materi antikorupsi secara komprehensif dengan mengacu makna yang terkandung dalam setiap nilai-nilai Pancasila. Hal ini dikarenakan ada beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa rata-rata koruptor sebenarnya berasal dari kalangan intelektual.

Keterlibatan kaum intelektual dalam tindak pidana korupsi menimbulkan berbagai pertanyaan. Salah satunya, bagaimana mereka (kaum intelektual) bisa terlibat dalam tindakan korupsi yang tentunya alpa dari tuntutan integritas yang melekat pada statusnya sehingga nekat menabrak rambu-rambu hukum dan moralitas yang sejatinya sudah sangat mereka pahami dan dapat dipastikan tindakan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Panacasila?

Menurut penulis jawaban yang tepat mengapa para kaum intelektual bisa terjerumus dalam perilaku koruptif. Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman nilai-nilai antkorupsi yang mereka dapatkan semasa bersekolah. Walaupun pendidikan antikorupsi telah didapatkan akan tetapi mereka tak meresapi dengan saksama apa arti dari nilai-nilai antikorupsi tersebut.

Oleh karena itu diperlukan reaktualisasi nilai-nilai antikorupsi dengan upaya preventif melalui sarana edukatif tentunya dengan dukungan pemerintah. Dalam hal ini agar mampu menghasilkan SDM (kaum intelektual) yang berintegritas dan berkualtias. Kemudian agar mampu meminimalisir bahkan menghilangkan perilaku koruptif lebih dini di negara Indonesia dan kita percaya semakin dikit yang ditangkap karena perilaku koruptif semakin maju negara Indonesia. [***]

Adam Setiawan
Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum UII

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA