Kata Valina, pemberian poliÂtik uang kepada kedua elemen tersebut masing-masing memiÂliki tujuan berbeda. Politik uang yang diberikan kepada pemilih ditujukan untuk membeli suara. Sementara politik uang terhadap penyelenggara pemilu untuk mengubah hasil pemilu.
Valina membeberkan, penyeÂlenggara pemilu yang terlibat suap dalam lima tahun terakhir jumlahnya cukup mengkhawatÂirkan. Data tersebut diketahuinÂya saat dia masih duduk di kursi anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) periode 2012-2017 lalu.
Lantas benarkah dugaan yang dilontarkan Valina tersebut? Dan apakah di Pemilu 2019 kali ini indikasi terjadinya praktik lancung tersebut sudah ditemuÂkan? Kepada
Rakyat Merdeka, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Harjono menjelaskan potensi suap kepada penyelenggara pemillu :
Tanggapan Anda tentang apa yang dilontarkan Valina, ada potensi suap dalam benÂtuk politik uangkepada para penyelenggara pemilu?Memang ada praktik suap atau
money politics kepada peÂnyelenggara pemilu. Kalau di DKPP yang kasusnya langsung suap, kita belum terima. Namun misalnya ada KPU Daerah ingin mengadakan suatu pertemuan deklarasi damai dan sebagainya, dia minta sumbangan kepada parati-partai ini juga ada kasus semacam ini, dan kita sudah memberikan sanksi kepada mereka. Namun kalau menerima suap seperti yang terjadi di Garut itu ya langsung ditangkap polisi, karena polisi tahu kasus itu. Kalaupun toh kasus itu dibawa ke DKPP, berarti dia bisa menjadi saksi di DKPP. Tetapi kalau kasus yang Garut itu tidak hanya soal pelanggaran etik saja tetapi pelanggaran hukum. Jadi meskipun kasus hukumnya belum selesai, kita sudah menyaÂtakan pemberhentian tetap.
Jadi pemberhetian tetap akan diberikan DKPP kepada penyelenggara pemilu yang terbukti menerima suap?Iya, hukuman tertinggi di DKPP adalah pemberhentian tetap dan pemberhentian tetap itu tidak selalu dikaitkan dengan suap. Jadi ada kasus katakan saja sesama anggota penyelenggara pemilu, namun di suatu rapat dia malah berantem sendiri, nah ini juga kita kenakan sanksi.
Lho kenapa memangnya kok sampai berkelahi?Ya kenapa di depan umum mereka justru berantem, seharÂusnya kan bisa bersama. Artinya dia tidak bisa mengelola penyeÂlenggaraan pelayanan pemilu.
Sejauh ini apakah Anda sudah menerima laporan menÂgenai penyelenggara pemilu yang diduga menerima suap?Kita belum ada laporan mengeÂnai kasus suap itu, namun bukan berarti kita belum pernah memÂberhentikan meskipun kasusnya itu bukan
money politics.Terus pengawasan yang diÂlakukan DKPP bagaimana?Kita tidak bisa melakukan pengawasan langsung ke lapanÂgan, kita hanya menerima lapoÂran saja. Karena kita ini pasif, maka harus ada orang yang datang ke kita untuk melaporkan dugaan supa itu. Kita kan tidak bisa turun terus mencari-cari hal itu, kan kita tidak bisa. Memang sekarang yang mesti diawasi juga penyelenggara pemilu, buÂkan hanya penyuapnya saja.
Terus kalau pengawasan tidak bisa langsung, apa pencegahan yang dilakukan DKPP?Sebetulnya kan tugas untuk pengawasan ini kan ada pada Bawaslu, namun kan sebenarnya Bawaslu tidak hanya mengawasi KPU saja, melainkan juga menÂgawasi bawahannya juga. Oleh karena itu andalah DKPP ya di Bawaslu, sebab kita tidak bisa terjun langsung. Nah karena tidak bisa terjun langsung, maka strategi yang kita lakukan adalah melakukan sosialisasi. Yaitu keÂnapa DKPP ada, betapa pentingÂnya itu integritas, harus indepenÂden, itu harus kita sosialisasikan. Apapun tindakan yang itu bisa memimbulkan suatu kecurigaan, meskipun itu hanya kecurigaan, namun orang yakin dia melakuÂkan kecurangan, itu juga sudah pantas diberi sanksi, meskipun sanksinya tidak berat.
Sebenarnya pelanggaran pemilu, termasuk potensi suap terjadi di tingkat mana saja sih?Oh macam-macam ya kalau itu. Di tingkat paling bawah ada, bahkan di tingkat provinsi juga ada. Namun itu semuanya itu tidak selalu berkaitan dengan persoalan suap saja, persoalan suap memang memiliki potensi, tetapi kita belum temukan langÂsung soal itu.
Memang selain soal suap, apa potensi pelanggaran besar lainnya?Kalau yang masih banyak itu adalah persoalan seleksi anggota. Jadi ada seleksi yang ternyata anggotanya itu adalah masih pengurus partai politik, masih menjadi caleg. Itu masih terjadi dari tingkat kacamaÂtan, kabupaten/kota, hingga di provinsi.
Kalau sudah seperti itu, apa yang dilakukan DKPP?Kita lihat prosesnya apakah memang betul, biasanya kan sekarang banyak sekali itu tes-tes yang dilakukan. Kita kemarin sudah memeriksa sampai ke tingkat provinsi lalu diadukan ke pusat, ada dua orang bilang 'kok yang dipilih bukan saya'. Terus kita langsung periksa, apakah yang dikeluhkan itu beÂnar, kalau memang ada alasan. Nah alasannya itu benar atau tidak. Pernah juga memang ada masalah yaitu pengangkatan panwas kabupaten. ***
BERITA TERKAIT: