Berawal ketika Nabi Musa diundang oleh seÂorang tokoh melalui anak perempuan sulungÂnya bernama Shafura. Sang tokoh masyarakat itu rupanya juga seorang yang arif dan terkeÂnal di negeri Madyan. Kalangan ulama Tafsir menyebutnya Nabi Syu'aib tetapi yang lainÂnya meragukan karena jarak waktu antara Nabi Musa dengan Nabi Syu'aib agak berjauÂhan sehingga diperhitungkan tidak semasa (mu’asharah). Sejumlah ulama tafsir menyeÂbutnya dengan Syekh Madyan, karena dialah tokoh yang dituakan di daerah Madyan, AllaÂhu a'lam. Nabi Muasa diundang ternyata berÂhubungan dengan usahanya sebagai peternak yang membutuhkan tenaga kerja.
Saat Nabi Musa menghadap ke sang tokoh, ia mengenalkan lebih dalam tentang anak suÂlungnya yang mengusulkan perlunya ada tenaÂga khusus yang membantu ayahnya mengelola usahanya. Shafura menyatakan kepada ayahÂnya sebagaimana diabadikan dalam Al-Qur'an: "Wahai bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhÂnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (Q.S. al-Qashash/28:26). Pernyataan putrinya juga dapat dikategorikan sebagai pernyataan yang keluar dari seorang profesional, karena ia tidak menonjolkan ketamÂpanan dan latar belakang keturunannya tetapi mengedepankan potensi dan kualitas. Kata al-qawiyy al-amin dalam bahasa manajmen modÂern bisa dipadankan dengan kata "tangguh, profesional, dan meyakinkan", sebuah kriteria yang amat diproriataskan di dalam merekrut karyawan.
Mendengarkan jaminan dari putrinya, maka sang ayah menerima Nabi Musa untuk bekerja di dalam keluarga Syekh Madyan ini. Selama delapan tahun bekerja, Nabi Musa dinilai seÂbagai anak yang baik dan benar penilaian puÂtrinya yang menyebut Nabi Musa sebagai peÂmuda yang memiliki potensi al-qawiyy al-amin. Setelah sekian lama Nabi Musa bekerja denÂgan baik di lingkungan keluarganya, akhirnya pada saatnya sang ayah memanggil Nabi Musa menyatakan niatnya untuk mengawinkan salah seorang di antara kedua putrinya. Tidak ditentuÂkan, apakah putri sulung atau putri bungsu.
Dialog antara Nabi Musa dengan calon merÂtuanya diabadikan dalam Al-Qur'an: "BerkataÂlah dia (Syuaib): "Sesungguhnya aku bermakÂsud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik. Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. Mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapÂkan". (Q.S. al-Qashash/28:27-28).
Akhirnya, Nabi Musa berhasil mempersuntÂing Shafura. Keduanya hidup bahagia karena ternyata memang keduanya memiliki akhlak yang terpuji. Keduanya tidak pernah melakuÂkan sesuatu yang dapat dikatakan melampaui batas. Bahkan keduanya sangat membataÂsi perjumpaan antara keduanya demi untuk menghindari fitnah. Pengalaman Nabi Musa dan Shafura patut untuk dicontoh oleh siapapun yang akan merintis rumah tangga mawaddah, rahmah, dan sakinah. Pasangan ini melahirkan keturunan yang salah satu anak keturunannya ialah Nabi Isa yang juga menerima wahyu dan membawa agama Nasrani.