Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Enny Nurbaningsih: Tak Ada Niat Ringankan Hukuman Koruptor, Kami Hanya Ingin Bangun Proporsionalitas

Senin, 25 Juni 2018, 10:09 WIB
Enny Nurbaningsih: Tak Ada Niat Ringankan Hukuman Koruptor, Kami Hanya Ingin Bangun Proporsionalitas
Enny Nurbaningsih/Net
rmol news logo Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap menginginkan supaya delik tindak pidana koru­psi (tipikor) tidak dimasukkan dalam draf rancangan undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Salah satu alasannya adalah karena di dalam draf RUU itu sanksinya ancaman pidana dan dendanya cenderung menurun drastis. Pidana tambahan berupa uang pengganti pun tidak diatur secara jelas di dalamnya. Padahal, sum­ber terbesar pemulihan kerugian negara akibat korupsi berasal dari uang pengganti.
Selamat Menunaikan Ibadah Puasa

Ketua KPK Agus Rahadjo pun menyarankan agar pemerintah merevisi Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Tipikor dari pada memasukkan pidana koru­psi ke KUHP. Sebab, menurut dia, jika membuat ketentuan ba­ru tentang korupsi dalam KUHP dikhawatirkan nantinya menge­sampingkan Undang-Undang Tipikor. Padahal, Undang-Undang Tipikor dianggap sudah mumpuni untuk menjadi pand­uan pemberantasan korupsi bagi KPK, Polri, dan Kejaksaan.

Lantas bagaimana tangga­pan pemerintah terkait penolakan tersebut? Apakah betul sanksi dalam KUHP lebih rendah? Berikut penuturan Ketua Tim Panitia Kerja Revisi KUHP dari Pemerintah, EnnyNurbaningsih.

Salah satu alasan yang di­ungkap KPK mengapa mereka menolak draf RUU KHUP itu adalah lantaran sanksi yang dicantumkan bagi para korup­tor lebih ringan dari pada yang tercantum di Undang-Undang Tipikor. Apa tanggapan Anda terkait hal ini?
Ya kami diskusikan, asal mau datang, nanti bareng kami dis­kusikan. Kan enggak ada yang kaku sama sekali selama ini. Satu misalnya pasal menyang­kut soal sanksi itu harus kami bicarakan lagi. Karena memang tidak ada niatan kami untuk meringankan koruptor, enggak akan ada.

Tetapi kami membangun proporsionalitas. Misalnya kalau penyelenggara negara patut lho kiranya diperberat sanksinya, dari pada kalau masyarakat umum yang korupsi. Selama ini masyarakat umum dibandingkan dengan penyelenggara negara berapa banyak yang jadi korup­tor? Sedikit kan, dan itu fakta. Jadi yang untuk masyarakat ini kami turunkan. Tapi untuk yang maksimum mari disepakati. Mau 20 tahun, atau pakai yang di KUHP.

Tapi bukankah pasal soal ancaman pidana itu ada juga di Undang-Undang Tipikor. Itu bagaimana?
Yang dipakai hanya satu. Jadi yang usulan pemerintah itu nanti masuk ke rancangan KUHP, yang di tipikor enggak ada lagi, tapi jadi rujukan nanti ketika di­pakai dalam proses persidangan. Bahwa yang di maksud padal 2 ini jadi pasal 629 KUHP. Tapi tetap digunakan oleh KPK, tetap lembaganya sama, enggak ada yang kurang. Hanya rujukannya yang bergeser.

Kewenangannya juga eng­gak berkurang?
Enggak ada, tidak ada tamba­hannya, karena mereka khusus. Mereka pakai pidana pengganti silakan, kalau mau ada uang pengganti silakan. Kemudian yang terkait dengan disparitas sanksi enggak ada, karena sama dengan KUHP. Karena yang ada di KUHP nanti, yang itu sudah pindah ke sini. Untuk core-nya saja lho ya, hanya pokoknya saja. Nanti jadi rujukan ketika di persidangan itu.

Jadi di KUHP nanti sank­sinya enggak lebih ringan?

Enggak ada, makanya nanti diskusikan lagi. Sebetulnya yang namanya delik pokoknya korup­si itu hanya masalah penyuapan. Merugikan keuangan negara itu adalah perluasan karakteristik di Indonesia. Karena paling banyak di Indonesia ini adalah merugi­kan keuangan negara.

Jadi kami ambil yang pokoknya saja, yaitu pasal 2, pasal 3, pasal 5, pasal 11, dan pasal 13. Kalau kami dorong core-nya, hanya yang penyuapan saja. Makanya nanti kami diskusikan lagi. Ini bukan sesuatu yang sudah final. Ini masih dalam konteks diskusi.

Dalam pembicaraan ke­marin belum ada kesepakatan sama sekali terkait hal itu?
Sebenarnya sudah, waktu itu hanya penyamaan. Kami diskusi menyamakan persepsi bahwa tidak ada yang namanya duplikasi. Karena bahaya sekali. Jangankan ada duplikasi, enggak ada duplikasi saja jadi mainan gitu lho. Kami sudah sabar sekali itu. Makanya dalam ketentuan penutup itu, pasal 2 yang ada di tipikor sekarang namanya pasal 629 KUHP. Dicabut yang di situ (Undang-Undang Tipikor), jadi adanya di sini (KUHP). Soal sanksi, nanti kami duduk bersama, mana yang mau dib­eratkan, dan mana yang kami turunkan secara proporsional. Terutama siapa yang kemudian unsur-unsurnya ini kami nilai lebih rendah dari pada penye­lenggara negara.

Karena ini belum final, apakah sanksi untuk korup­tor masih bisa ditambah?

Kalau nambah, sangat eng­gak mungkin kayaknya. Karena kami sudah diskusi panjang tentang delik pokoknya. Kalau misalnya oh ini enggak perlu, maka kami ambil yang secara universal diakui. Biasanya hanya bicara penyuapan. Tapi karak­teristik Indonesia dan Undang-Undang Tipikor itu adalah mer­ugikan keuangan negara. Itu di Indonesia sendiri.

Kalau terkait Pasal 235 soal membocorkan rahasia negara itu bagaimana?
Sementara ini itu kami ang­gap off the record. Nanti kami diskusi lagi. Misalnya kalau soal terorisme ada pasal 627, itu yang core-nya. Yang namanya teroris ya di situ itu. Itu kami sudah tetapkan. Tapi untuk narkotika memang agak banyak, ada golongan I, II, III, IV. Jadi memang agak ribet ini memang narkotika.

Tapi apakah terkait narko­tika itu sudah klir?
Kalau yang narkotika itu kami membuat, kami memperbaiki bahkan rumusan yang ada su­paya mudah dipahami. Tapi nanti yang dipakai yang di sini, tapi yang bertindak tetap BNN. Paham ya sekarang? Intinya kami enggak mau ada duplikasi. Jadi mereka (BNN) enggak usah khawatir kewenangannya diambil.

BNN khawatir lebih berat kepada penjara dari pada rehabilitasi. Apa tanggapan Anda terkait hal ini?
Oh enggak akan begitu. Kan saya juga Ketua Tim RUU Narkotika.

Kenapa sih begitu penting memasukan tindak pidana khusus, terutama tipikor ke KUHP?
Karena ini adalah bagian dari kodifikasi hukum pidana.

Kenapa tidak dibiarkan tetap di UU khusus?
Lho kan tetap di situ, tetap di undang-undangnya masing-mas­ing. Tapi ada kodifikasinya. Ini yang dianggap kodifikasi adalah untuk delik pokoknya saja. Jadi kodifikasi hukum pidana. Kita kan baru punya sekarang ini hukum pidana.

Kapan kira-kira pemba­hasannya akan selesai?
Kami enggak memikirkan soal waktu. Kami memikir­kan bagaimana baik hasilnya. Kami ingin ini selesai dengan baik dan diterima oleh semua pihak.

Tapi Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan KUHP bisa disahkan sebelum HUT RI?

Ya itu kan semangatnya be­liau, enggak apa-apa juga. Itu menyemangati kami juga kan.

Berarti tidak masalah kalau tidak disahkan pada DPR periode ini?
Kalau DPR saat ini enggak selesai, akan mengerikan sekali. DPR berikutnya itu enggak ada asas carry over. Banyak laginanti yang dibahas, pasal 1, pasal 2, dan lain sebagainya. Pembahasan ini sudah dimulai dari 2015. Artinya ngeri banget biaya, tenaga, waktu, dan se­bagainya terbuang kalau tidak tuntas sekarang. Apalagi sudah hampir selesai sekarang.

Terkait Pasal 729 itu kan belum ada penjelasan apa saja lembaganya?
Pasal 729 itu kan ketentuan peralihan terkait lembaga-lem­baga yang sudah ditetapkan dengan kewenangan khusus. Sudah ada penjelasan lembaga-lembaganya, misalnya KPK dan BNN. Jadi KUHP ini hanya Bridging ke pidana khusus atau UU Tipikor.

Pada saat KUHP mulai ber­laku, ketentuan bab tentang tindak pidana khusus dalam UU masing-masing tetap dilaksana­kan berdasarkan kewenangan kelembagaan yang telah diatur dalam undang-undang masing-masing.

Ini nanti ke depan undang-undang apapun akan ada penye­suaian. Penyesuaian itu terkait pemidanaan salah satunya (Korupsi) yang sudah dikecualikan dari buku satu KUHP.

Jadi pemufakatan jahat pun dia bisa dikenakan delik ses­uai dengan pidana yang sama seperti terorisme atau narko­tika. Jadi tidak ada bedanya, tetap sama. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA