Ketua KPK Agus Rahadjo pun menyarankan agar pemerintah merevisi Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang Tipikor dari pada memasukkan pidana koruÂpsi ke KUHP. Sebab, menurut dia, jika membuat ketentuan baÂru tentang korupsi dalam KUHP dikhawatirkan nantinya mengeÂsampingkan Undang-Undang Tipikor. Padahal, Undang-Undang Tipikor dianggap sudah mumpuni untuk menjadi pandÂuan pemberantasan korupsi bagi KPK, Polri, dan Kejaksaan.
Lantas bagaimana tanggaÂpan pemerintah terkait penolakan tersebut? Apakah betul sanksi dalam KUHP lebih rendah? Berikut penuturan Ketua Tim Panitia Kerja Revisi KUHP dari Pemerintah, EnnyNurbaningsih.
Salah satu alasan yang diÂungkap KPK mengapa mereka menolak draf RUU KHUP itu adalah lantaran sanksi yang dicantumkan bagi para korupÂtor lebih ringan dari pada yang tercantum di Undang-Undang Tipikor. Apa tanggapan Anda terkait hal ini?Ya kami diskusikan, asal mau datang, nanti bareng kami disÂkusikan. Kan enggak ada yang kaku sama sekali selama ini. Satu misalnya pasal menyangÂkut soal sanksi itu harus kami bicarakan lagi. Karena memang tidak ada niatan kami untuk meringankan koruptor, enggak akan ada.
Tetapi kami membangun proporsionalitas. Misalnya kalau penyelenggara negara patut lho kiranya diperberat sanksinya, dari pada kalau masyarakat umum yang korupsi. Selama ini masyarakat umum dibandingkan dengan penyelenggara negara berapa banyak yang jadi korupÂtor? Sedikit kan, dan itu fakta. Jadi yang untuk masyarakat ini kami turunkan. Tapi untuk yang maksimum mari disepakati. Mau 20 tahun, atau pakai yang di KUHP.
Tapi bukankah pasal soal ancaman pidana itu ada juga di Undang-Undang Tipikor. Itu bagaimana?Yang dipakai hanya satu. Jadi yang usulan pemerintah itu nanti masuk ke rancangan KUHP, yang di tipikor enggak ada lagi, tapi jadi rujukan nanti ketika diÂpakai dalam proses persidangan. Bahwa yang di maksud padal 2 ini jadi pasal 629 KUHP. Tapi tetap digunakan oleh KPK, tetap lembaganya sama, enggak ada yang kurang. Hanya rujukannya yang bergeser.
Kewenangannya juga engÂgak berkurang?Enggak ada, tidak ada tambaÂhannya, karena mereka khusus. Mereka pakai pidana pengganti silakan, kalau mau ada uang pengganti silakan. Kemudian yang terkait dengan disparitas sanksi enggak ada, karena sama dengan KUHP. Karena yang ada di KUHP nanti, yang itu sudah pindah ke sini. Untuk core-nya saja lho ya, hanya pokoknya saja. Nanti jadi rujukan ketika di persidangan itu.
Jadi di KUHP nanti sankÂsinya enggak lebih ringan?Enggak ada, makanya nanti diskusikan lagi. Sebetulnya yang namanya delik pokoknya korupÂsi itu hanya masalah penyuapan. Merugikan keuangan negara itu adalah perluasan karakteristik di Indonesia. Karena paling banyak di Indonesia ini adalah merugiÂkan keuangan negara.
Jadi kami ambil yang pokoknya saja, yaitu pasal 2, pasal 3, pasal 5, pasal 11, dan pasal 13. Kalau kami dorong core-nya, hanya yang penyuapan saja. Makanya nanti kami diskusikan lagi. Ini bukan sesuatu yang sudah final. Ini masih dalam konteks diskusi.
Dalam pembicaraan keÂmarin belum ada kesepakatan sama sekali terkait hal itu?Sebenarnya sudah, waktu itu hanya penyamaan. Kami diskusi menyamakan persepsi bahwa tidak ada yang namanya duplikasi. Karena bahaya sekali. Jangankan ada duplikasi, enggak ada duplikasi saja jadi mainan gitu lho. Kami sudah sabar sekali itu. Makanya dalam ketentuan penutup itu, pasal 2 yang ada di tipikor sekarang namanya pasal 629 KUHP. Dicabut yang di situ (Undang-Undang Tipikor), jadi adanya di sini (KUHP). Soal sanksi, nanti kami duduk bersama, mana yang mau dibÂeratkan, dan mana yang kami turunkan secara proporsional. Terutama siapa yang kemudian unsur-unsurnya ini kami nilai lebih rendah dari pada penyeÂlenggara negara.
Karena ini belum final, apakah sanksi untuk korupÂtor masih bisa ditambah?Kalau nambah, sangat engÂgak mungkin kayaknya. Karena kami sudah diskusi panjang tentang delik pokoknya. Kalau misalnya oh ini enggak perlu, maka kami ambil yang secara universal diakui. Biasanya hanya bicara penyuapan. Tapi karakÂteristik Indonesia dan Undang-Undang Tipikor itu adalah merÂugikan keuangan negara. Itu di Indonesia sendiri.
Kalau terkait Pasal 235 soal membocorkan rahasia negara itu bagaimana?Sementara ini itu kami angÂgap off the record. Nanti kami diskusi lagi. Misalnya kalau soal terorisme ada pasal 627, itu yang core-nya. Yang namanya teroris ya di situ itu. Itu kami sudah tetapkan. Tapi untuk narkotika memang agak banyak, ada golongan I, II, III, IV. Jadi memang agak ribet ini memang narkotika.
Tapi apakah terkait narkoÂtika itu sudah klir?Kalau yang narkotika itu kami membuat, kami memperbaiki bahkan rumusan yang ada suÂpaya mudah dipahami. Tapi nanti yang dipakai yang di sini, tapi yang bertindak tetap BNN. Paham ya sekarang? Intinya kami enggak mau ada duplikasi. Jadi mereka (BNN) enggak usah khawatir kewenangannya diambil.
BNN khawatir lebih berat kepada penjara dari pada rehabilitasi. Apa tanggapan Anda terkait hal ini?Oh enggak akan begitu. Kan saya juga Ketua Tim RUU Narkotika.
Kenapa sih begitu penting memasukan tindak pidana khusus, terutama tipikor ke KUHP?Karena ini adalah bagian dari kodifikasi hukum pidana.
Kenapa tidak dibiarkan tetap di UU khusus?Lho kan tetap di situ, tetap di undang-undangnya masing-masÂing. Tapi ada kodifikasinya. Ini yang dianggap kodifikasi adalah untuk delik pokoknya saja. Jadi kodifikasi hukum pidana. Kita kan baru punya sekarang ini hukum pidana.
Kapan kira-kira pembaÂhasannya akan selesai?Kami enggak memikirkan soal waktu. Kami memikirÂkan bagaimana baik hasilnya. Kami ingin ini selesai dengan baik dan diterima oleh semua pihak.
Tapi Ketua DPR Bambang Soesatyo menyatakan KUHP bisa disahkan sebelum HUT RI?Ya itu kan semangatnya beÂliau, enggak apa-apa juga. Itu menyemangati kami juga kan.
Berarti tidak masalah kalau tidak disahkan pada DPR periode ini?Kalau DPR saat ini enggak selesai, akan mengerikan sekali. DPR berikutnya itu enggak ada asas carry over. Banyak laginanti yang dibahas, pasal 1, pasal 2, dan lain sebagainya. Pembahasan ini sudah dimulai dari 2015. Artinya ngeri banget biaya, tenaga, waktu, dan seÂbagainya terbuang kalau tidak tuntas sekarang. Apalagi sudah hampir selesai sekarang.
Terkait Pasal 729 itu kan belum ada penjelasan apa saja lembaganya?Pasal 729 itu kan ketentuan peralihan terkait lembaga-lemÂbaga yang sudah ditetapkan dengan kewenangan khusus. Sudah ada penjelasan lembaga-lembaganya, misalnya KPK dan BNN. Jadi KUHP ini hanya Bridging ke pidana khusus atau UU Tipikor.
Pada saat KUHP mulai berÂlaku, ketentuan bab tentang tindak pidana khusus dalam UU masing-masing tetap dilaksanaÂkan berdasarkan kewenangan kelembagaan yang telah diatur dalam undang-undang masing-masing.
Ini nanti ke depan undang-undang apapun akan ada penyeÂsuaian. Penyesuaian itu terkait pemidanaan salah satunya (Korupsi) yang sudah dikecualikan dari buku satu KUHP.
Jadi pemufakatan jahat pun dia bisa dikenakan delik sesÂuai dengan pidana yang sama seperti terorisme atau narkoÂtika. Jadi tidak ada bedanya, tetap sama. ***
BERITA TERKAIT: