Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Mahfud MD: Jangan Sampai KUHP Baru Membunuh Keberadaan KPK Seperti Sekarang...

Kamis, 21 Juni 2018, 08:38 WIB
Mahfud MD: Jangan Sampai KUHP Baru Membunuh Keberadaan KPK Seperti Sekarang...
Mahfud MD/Net
rmol news logo Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai protes dari banyak ka­langan. Isi draf RKUHP dinilai bakal melemahkan pemberan­tasan korupsi. Karena, RKUHP ikut mengatur tentang pidana korupsi yang sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Indikasi pelemahan semakin terasa karena pasal-pasal yang mengatur tindak pi­dana korupsi yang diatur dalam RKUHP cenderung lebih lemah dari UU Tipikor.

Dengan demikian, jika RKUHP disahkan maka penegakan pi­dana korupsi akan berpedoman pada KUHP, tidak lagi UU Tipikor. Sebab, sesuai asas lex posterior, aturan baru akan mengesampingkan aturan lama. Beberapa pasal dalam RKUHP yang disinyalir melemahkan pemberantasan korupsi antara lain, pemberian hukuman ber­potensi lebih ringan karena pidana korupsi dianggap sama dengan pidana umum lainnya. Kemudian, Pengadilan Tipikor diramal akan mati suri karena pengadilam umum bisa menga­dili kasus korupsi. Tak hanya itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi bakal menghadapi kerancuan dalam penegakan hukum karena tump­ang tindih dengan kewenangan kejaksaan dan kepolisian.

Pakar hukum tata negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Mahfud MD menyatakan tidak setuju tindak pidana korupsi diatur dalam KUHP. Hal itu dipaparkan Mahfud kepada awak Rakyat Merdeka di kantornya di MMD Initiative, di Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Minggu (10/6).

Mengenakan peci dan baju batik lengan panjang berwarna cokelat, Mahfud menilai dimasukkannya pidana korupsi ke RKUHP sebagai bentuk akal-akalan saja untuk melemahkan pemberantasan korupsi.

Berikut ini penjelasan seu­tuhnya.

Draf RKUHP menuai pro dan kontra karena meng­atur tindak pidana korupsi. Bagaimana pandangan Anda?
Saya kira tidak mungkin kita berambisi (ingin memasukkan) seluruh aturan hukum pidana dalam kodifikasi hukum yang disebut kitab. Karena, perkem­bangan masyarakat pasti akan menimbulkan hukum-hukum baru yang di luar KUHP. Jangan bermimpi semua masalah pidana selesai dalam satu kitab. Oleh karena itu, kalau ingin me­masukkan hukum tindak pidana korupsi ke dalam KUHP dengan ambisi agar ada satu kitab saja, itu sangat tidak masuk akal.

Nanti setelah KUHP disahkan pasti akan muncul tindak pidana baru lainnya. Apalagi di tengah era cyber seperti sekarang ini. Untuk itu, saya kira kita tidak usah berpikir bahwa semua harusmasuk dalam sebuah kitab.

Apakah akan menimbulkan masalah jika tindak pidana ko­rupsi diatur dalam KUHP?
Tentu rentan menimbulkan du­alisme pengaturan delik khusus. Karena, selain diatur di dalam RKUHP, delik korupsi juga dia­tur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Apalagi, seperti kita tahu draf RKUHP memiliki ke­cenderungan untuk menjadikan seluruh kasus pidana menjadi bersifat umum termasuk tindak pidana korupsi.

Artinya khusus pidana ko­rupsi tidak perlu diatur lagi dalam KUHP?
Tidak perlu lagi karena sudah diatur. Pidana korupsi sudah dia­tur secara jelas dalam Undang- Undang omor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Saya lebih setuju menempat­kan Undang-Undang Tipikor sebagai Undang-Undang yang khusus berada di luar KUHP, dan itu sah secara hukum. Karena, di banyak negara di dunia, ada yang mengatur begitu kok, di luar KUHP.

Anda pernah menyampai­kan memasukkan pidana ko­rupsi di dalam KUHP sebagai akal-akalan….
Menurut saya begitu, akal-akalan saja. Karena banyak orang yang tidak suka dalam pemberantasan korupsi yang leb­ih terfokus seperti yang selama ini dilakukan oleh KPK. Jangan sampai, keberadaan KUHP baru membunuh keberadaan KPK seperti keadaannya seka­rang. KPK harus tetap punya wewenang menyelidiki, me­nyidik dan menuntut pelaku tindak pidana korupsi sesuai dengan Undang-Undang yang sudah ada. KPK harus memiliki kewenangan menindak pejabat penyelenggara negara yang mer­ugikan keuangan negara, mela­wan hukum dan memperkaya diri sendiri ataupun memperkaya orang lain.

Ada pihak mengkritik langkah KPK memprotes draf RKUHP sebagai bentuk pembangkangan. Pandangan Anda?
KPK memiliki hak konstiti­tusinya untuk memberikan pernyataan sikap. Apalagi, langkah yang dilakukan KPK sudah be­nar, menyurati DPR karena kan mereka yang berhak membuat Undang-Undang.

Mengenai perkemban­gan politik di Tanah Air. Bagaimana pandangan Anda?
Saya lihat ada polarisasi sedikit mengenai ikatan primo­dial keagamaan. Itu tidak bagus. Bahkan, sekarang satu rumpun keagamaan saja saling tuding karena beda pilihan politik. Seolah-olah yang salah satu pilihan, benar. Saya kira bangsa ini harus memperkuat ikatan kebangsaan yang telah diban­gun Presiden Soekarno melalui Pancasila.

Apa pesan Anda kepada masyarakat terhadap berba­gai dinamika perkembangan politik di Tanah Air?
Bangsa ini jangan sampai rusak hanya untuk keperluan 5 tahunan. Marilah pilih dengan bagus pemimpin kita dengan fair dan demokratis. Setelah itu semua harus bersatu lagi.

Selama ini tidak mudah me­nyatukan masyarakat yang terbelah akibat pemilihan kepala daerah dan presiden?

Sebenarnya sangat mungkin. Karena, persatuan bangsa ini lu­ar biasa hebatnya karena merdeka melalui perjuangan. Dulu para pendiri negara ini seperti Bung Karno dan kawan-kawan berhasil mempersatukan bangsa merupa­kan hal yang luar biasa. Indonesia yang mempunyai 17.504 pulau, 1.360 suku dan 726 bahasa, 6 agama bisa bersatu.

Segala perbedaan itu membuat bangsa ini kuat dan bersatu. Kita punya modal besar, tidak ada negara di dunia sebesar Indonesia dan seberagam Indonesia tapi bisa bersatu. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA