Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Abdurrahman Muhammad Bakri: Terbesar Rp 200 Ribu, Terkecil Rp 25 Ribu, Semuanya Sudah Saya Laporkan Ke KPK

Kamis, 31 Mei 2018, 09:45 WIB
Abdurrahman Muhammad Bakri: Terbesar Rp 200 Ribu, Terkecil Rp 25 Ribu, Semuanya Sudah Saya Laporkan Ke KPK
Abdurrahman Muhammad Bakri/Net
rmol news logo Penghulu ini diganjar hadiahatas konsistensinya menolak gratifikasi dari para calon pasangan pengantin yang mengundangnya untuk dinikahkan. Kementerian Agama memberikan kuota haji buat Bakri karena paling banyak melaporkan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sikap Bakri ini harus menjadi contoh bagi para pe­jabat tinggi kita, kalau penghulu pernikahan yang gajinya pas-pasan saja berani menolak gratifikasi, seharusnya pejabat tinggi negara kita yang sudah bergaji tinggi harusnya lebih berani lagi untuk menolak gratifikasi. Berikut ini penuturan Bakri kepada Rakyat Merdeka terkait pengalaman dia saat menjalankan tugasnya .

Anda kerap menolak menerima gratifikasi dari para calon pengantin dengan jalan mengembalikannya ke KPK, sebenarnya sudah berapa kali Anda mengembalikan duit gratifikasi itu ke KPK?

Kalau yang saya sudah lapor­kan ke KPK itu telah mencapai 59 kali.

Nominal terbesar berapa?

Terbesar itu Rp 200 ribu saya menerima uang dari calon pen­gantin. Sementara yang paling kecil itu Rp 25 ribu. Dari nominal Rp 25 ribu hingga Rp 200 ribu se­muanya saya laporkan ke KPK. Nah total laporan saya ke KPK sudah sebanyak 59 kali.

Apakah setiap Anda bertu­gas selalu menerima gratifikasi dari calon pengantin?
Tidak pasti saya diberikan uang. Langkah pertama yang saya lakukan untuk mencegah gratifikasi dengan cara penola­kan terlebih dulu. Namun ada saja masyarakat yang memaksa meski saya sudah menolak. Nah, uang yang saya terima atas pak­saan masyarakat itu yang saya laporkan ke KPK.

Apa alasan mereka hingga memaksa Anda untuk menerima gratifikasi?

Ya, mungkin rasa terimakasih dan rasa syukur lantaran telah dibantu dan juga menghadiri pelaksaan pernikahan di rumah. Jadi memang sudah ada rasa yang menjadi budaya di suku Jawa.

Pemberian mereka itu kan merupakan hadiah lantaran Anda telah membantunya. Lantas kenapa Anda harus melaporkan ke KPK?
Ya, karena itu dalam aturannya termasuk gratifikasi. Pasalnya, gratifikasi itu kan pemberian dari masyarakat kepada penyeleng­gara negara, termasuk pegawai negeri sipil yang bersangkutan dengan pekerjaan. Jadi, ka­lau saya bukan PNS dan tidak menjadi penghulu yang meng­hadiri, maka tidak mungkin saya dikasih uang.

Tapi kan angkanya tidak seberapa?

Gratifikasi itu kan tidak ada batasan minimal angkanya berapa sampai dengan berapa. Pokoknya berapapun itu angkan­ya sudah termasuk gratifikasi.

Anda belajar dari mana me­laporkan gratifikasi ke KPK?
Awalnya saya banyak tanya kepada teman-teman penghulu juga. Ketika kami tidak bisa menolak pemberian masyarakat bagaimana jalan keluarnya? Ternyata ada jalan keluarnya yaitu melaporkan ke KPK. Kami berdiskusi, buka internet, dan banyak tanya kepada teman. Sebenarnya di Bantul, Yogyakarta itu ada juga penghulu yang telah mendapatkan peng­hargaan, tapi tahunnya saya lupa. Nah saya belajar dari be­liau-beliau yang sudah terlebih dulu melaporkan gratifikasi.

Anda khawatir jika gratifikasi yang Anda terima bakal menyeret Anda ke pengadilan?
Iya, secara manusiawi saya khawatir dipenjara dan khawatir jika uang yang saya terima bakal panjang urusannya, mengingat bersinggungan dengan hukum. Maka dari itu uang yang saya terima dari calon pengantin saya laporkan ke KPK.

Apakah masih ada uang yang Anda pegang dan akan dilaporkan ke KPK?
Kalau sekarang sudah tidak ada.

Kenapa alasan Anda meno­lak pemberian dari calon pengantin?
Dari sisi kepegawaian saya itu kan sebagai PNS. Terlebih juga ada aturan yang kerap disampaikan oleh pimpinan bahwa gratifikasi itu tidak boleh diterima. Selain itu saya juga sudah ada kesejahteraan ataupun tunjangan-tunjangan yang sudah diberikan.

Sedangkan dari sisi agama tentu saja ketika kami menda­patkan yang bukan milik kami, sementara pemberian dari calon pengantin itu bukan hak kami karena kami sudah mendapatkan beberapa tunjangan dan gaji. Nah, gaji dan tunjangan itu yang menjadi hak kami. Jadi, ketika kami mengambil yang bukan hak kami ya jangan diambil begitu saja. Intinya hati nurani saja, artinya ketika mendapati hal yang kurang baik maka jan­gan diambil.

Dengan menolak memang­nya kehidupan Anda sudah sejahtera?

Insya Allah ketika kita ber­syukur kepada Allah pasti kita dicukupkan oleh Allah.

Apakah rekan-rekan sep­rofesi Anda memiliki sikap seperti Anda?
Sebenarnya kalau di Klaten, Jawa Tengah itu sudah ada kesepakatan bersama bahwa grati­fikasi kami tolak dulu. Kalau pelaksanaannya melaporkan ke KPK ya itu kembali ke masing-masing individu.

Ketika Anda menolak apa yang Anda jelaskan ke mereka?
Kami sampaikan masyarakat atau tuan rumah yang melak­sanakan pernikahan di rumah itu telah memberikan biaya nikah. Nah, kalau biaya nikah di rumah itu kan Rp 600 ribu. Jadi, dari uang tersebut sudah ada beberapa bagian yang diberikan kepada penghulu yang hadir. Rincian uang tersebut sudah termasuk uang transport dan tunjangan profesi kami. Artinya tidak perlu lagi menambah lan­taran di biaya Rp 600 ribu sudah termasuk segalanya.

Kementerian Agama mem­berikan Anda penghargaan dengan menjadikan Anda sebagai petugas haji, tangga­pannya seperti apa?
Tentu saya sangat bersyukur dan berterimakasih kepada Pak Menteri lantaran sebelumnya saya tidak pernah menyangka bisa memperoleh penghargaan seperti ini. Saya hanya niat kerja tidak macam-macam. Akan tetapi ternyata dari Kemenag memberikan saya penghargaan, jadi ya sangat bersyukur sekali.

Siapa yang menginfokan Anda mendapatkan penghar­gaan menjadi petugas haji?
Pak Dirjen Bimas Islam, Pak Muhammadiah Amin. Beliau ini kan kalau di Kantor Urusan Agama itu sebagai bapaknya dari KUA. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA