Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Rere Christanto mengungkapkan, berdasarkan penelitian yang dilakukan sejak 2008, pihaknya menyimpulkan, tanah dan air di area sekitar lumÂpur panas mengandung
Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) hingga 2.000 kali di atas ambang batas normal.
"Padahal, program lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan, PAH adalah senyawa organik yang berbaÂhaya dan bersifat karsiogenik alias memicu kanker," ujarnya.
Kata Rere, di dalam tubuh udang ditemukan kandungan Timbal (Pb) 40-60 kali di atas ambang batas yang diperbolehÂkan, dan kandungan Kadmium (Cd) 2-3 kali diatas ambang batas yang diperbolehkan.
"Jika pada tubuh biota sekiÂtar semburan lumpur Lapindo ditemukan unsur logam berat yang tinggi, ancaman adanya logam berat yang terakumulasi dalam tubuh manusia juga akan tinggi," ujarnya.
Rere melanjutkan, kontaminaÂsi logam berat juga terkonfirmasi ada dalam sumur warga di desa-desa sekitar semburan lumpur Lapindo. "Ini mengakibatkan air sumur di sekitar semburan lumpur Lapindo tidak bisa diÂpakai sebagai konsumsi untuk air minum warga," kata Rere.
Perwakilan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Harwati mengungkapkan, sampai sekaÂrang urusan kasus Lapindo selalu hanya berhenti di urusan penyelesaian ganti-rugi korban Lapindo. Padahal hak-hak korÂban yang hilang pasca semburan lumpur Lapindo hingga sekaÂrang masih banyak yang belum terselesaikan.
"Ada banyak kasus kehilangan hak korban Lapindo yang sampai sekarang tidak pernah mendapat perhatian pemerintah", ingatnya.
Dalam urusan kesehatan misalnya, jelas Harwati, banyak muncul gejala-gejala penyakit berat. Seperti kanker, jantung dan ISPA sekarang harus diderita oleh korban Lapindo. Sementara tidak ada sama sekali jaminan kesehatan yang dikhususkan untuk korban Lapindo.
Harwati meminta pemerintah harus berani memakai kekuaÂsaannya untuk memaksa Lapindo mengembalikan hak-hak rakyat yang telah terenggut pasca meÂlubernya lumpur panas. Apalagi, dari banyak penelitian dan pemÂbuktian ilmiah, ini terjadi akibat eksplorasi sumur Banjar Panji-1 yang tidak memenuhi prasyarat kelayakan keselamatan.
"Pemerintah harus mulai memÂbaca ulang skema penyelesaian kasus Lapindo dengan memasukÂkan pemenuhan sepenuhnya hak-hak korban Lapindo menjadi isu arus utama yang wajib dituntasÂkan," tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimulyono mengungkapkan, PT Minarak Lapindo sudah membayar utang dana talangan ke negara. Namun, jumlahnya sangat kecil. "Mereka sudah setor. Saya lupa jumlah tepatÂnya. Tapi sangat kecil. Enggak sampai 10 persen, kecil banget," ujarnya.
Untuk diketahui, jatuh tempo pelunasan utang tersebut adalah empat tahun setelah pencairan, yakni Juni 2019. Basuki mengaku belum mengetahui apakah pihak PT Minarak Lapindo masih akan membayar utangnya lagi atau tidak. Selain itu, PT Minarak Lapindo juga mengaÂjukan permohonan jadwal ulang jatuh tempo pelunasan.
Basuki menyatakan belum bisa memastikan apakah perÂmintaan jadwal ulang waktu pelunasan akan dipenuhi oleh pemerintah atau tidak. Sebab, belum ada rapat tingkat menteri terkait hal itu. "Itu nanti urusanÂnya Menteri Keuangan. Kan, yang tanda tangan utang Menteri Keuangan. Tapi sampai sekarang belum dibahas," katanya. ***