Kemudian pada malam harinya, bom bunuh diri terjadi di Blok B Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Wonocolo, Sidoarjo. Terduga teroris, Anton, bersama istri dan satu anaknya tewas dalam kejadian ini. Tiga anak Anton yang lain selamat, tapi kondisinya luka-luka.
Selang sehari kemudian, bom bunuh diri kembali terjadi di Markas Polrestabes Surabaya. Pelakunya satu keluarga juga, yaitu TW bersama istri dan tiga anaknya, dengan menggunakan dua sepeda motor. Satu anaknya, perempuan berusia 8 tahun, selamat karena terlempar dari sepeda motor. Lantas bagaimana tanggapan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) atas perÂistiwa yang melibatkan banyak anak tersebut? Menurut KPAI, kenapa banyak anak yang terliÂbat? Berikut penuturan lengkap Ketua KPAI Susanto.
Bagaimana tanggapan Anda atas kejadian yang melibatkan anak-anal tersebut? Kami mengecam keras peÂnyerangan bom yang tidak berperikemanusiaan dimakÂsud. Apalagi anak dilibatkan. Tindakan tersebut merupakan pelanggaran serius dan seharÂusnya tidak terjadi. Dan belajar dari kejadian beberapa tahun ini, menurut kami telah terjadi pergeseran pola dalam tindak terorisme.
Seperti apa pergeseran poÂlanya? Misalnya terkait rekrutmen, di mana sekarang caranya berÂmacam-macam. Contohnya melalui modus perkawinan, sebagaimana kasus Bekasi. Saat itu MNS menikahi Dian Yulia Novi yang baru dikenal 3 bulan lewat media sosial. Lalu terjadi perekrutan melalui patronase guru. Penyusupan melalui guru untuk melakukan rekrutmen pelaku teror perlu diwaspaÂdai. Karena mentoring menjadi radikalis apalagi teroris cukup efektif melalui patronase guru. Anak sangat mudah terpengaruh untuk mengikuti, mengingat guru sebagai sosok yang diyaÂkini pembawa kebenaran.
Kemudian selama ini pelaku teror juga selalu di-image-kan laki-laki. Tepi belakangan, terÂmasuk bom Surabaya, peremÂpuan juga menjadi pelakunya. Bahkan dia membawa anak-anak. Dan dari pengamatan kami, pelibatan anak dalam aksi terorisme ini terjadi di berbagai level, bukan hanya dalam ekÂsekusi. alam sejumlah kasus, anak juga dilibatkan dalam perencanaan sebelum melakuÂkan aksi.
Kasus terorisme di tiga gereÂja dan kantor kepolisian di Surabaya itu, keterlibatan anak-anak baru tergolong di grup pertama. Jika dikategorisasiÂkan, jaringan terorisme dapat dikelompokkan ke dalam lima kelompok.
Apa saja kelompok terseÂbut? Selain perencana dan eksekuÂtor, ada kelompok mentor, peÂnyandang dana, dan simpatisan. Kelompok eksekutor terlibat aktif di lapangan. Tugas mereka melakukan aksi teror di berbagai tempat. Kemudian kelompok perencana bertugas mengatur pelaksanaannya. Kelompok ini yang memilih waktu, lokasi, dan momentum yang dianggap tepat dalam melakukan aksi teror.
Kelompok berikutnya? Mentor biasanya berperan mencari, dan melakukan pemÂbibitan kader teroris. Mentor melakukan infiltrasi melalui berbagai pendekatan, termasuk infiltrasi melalui satuan penÂdidikan, jaringan organisasi tertentu, dan pertemuan rutin atas nama agama. Mentor ini sering memanfaatkan anak dan remaja untuk melakukan menÂtoring kelompok sebaya. Lalu kelompok berikutnya adalah penyandang dana. Kelompok ini sering tidak terdeteksi, tetapi kontribusinya besar terhadap keÂsuksesan aksi teror. Dan terakhir adalah kelompok simpatisan. Kelompok ini tidak terlibat aktif dalammelakukan aksi teror, tetapi memberikan dukungan moral terhadap aktivitas yang dilakukan oleh jaringan terorisme.
Tadi Anda bilang salah satu bentuk pergeserannya anak dilibatkan dalam eksekusi. Menurut Anda kenapa bisa seperti itu? Menurut saya ada dua motif sehingga mereka melibatkan perempuan dan anak. Pertama, pelaku menggunakan anak-anak untuk mengelabuhi orang-orang di sekitar target, supaya mereka tak mudah dideteksi. Sebab, perempuan dan anak-anak selama ini tidak pernah dilihat sebagai teroris. Dengan demikian, calon korban dan orang di sekitarnya tidak akan mencegah atau waspada.
Apa motif yang kedua? Motif berikutnya itu untuk menunjukkan kepada publik, bahwa teror itu tidak memanÂdang jenis kelamin dan usia. Mereka mengganggap dalam kerangka menjalankan tugas yang diyakini suci.
Lalu apa masukan KPAI terkait persoalan ini? Pertama, pemerintah dan peÂmerintah daerah perlu mengamÂbil langkah antisipatif melalui berbagai model pendekatan. Tujuannya agar ruang gerak jaringan terorisme dapat dicegah sedini mungkin.
Kedua, kasus terorisme yang melibatkan anak perlu didalami secara komprehensif, termasuk memastikan inisiator dan akÂtor utama di balik aksi teror di Surabaya. Inisiator dan aktor utama harus dihukum seberat-beratnya, agar kejadian yang sama tak berulang.
Kemudian kami minta Pemerintah Kota Surabaya dan Sidoarjo memastikan anak korban dan terduga yang selamat dalam aksi terorisme, diberikan perÂhatian khusus terkait tumbuh kembangnya. Hak pendidikan, kesehatan dan hak dasar lainÂnya harus terpenuhi dengan baik. Terakhir, mengingat tren indoktrinasi radikalisme dan terorisme saat ini, maka pemerÂintah daerah perlu melakukan inovasi pendidikan pengasuhan kepada calon pengantin, dan semua kelompok pasangan. Tujuannya agar mengembangÂkan pengasuhan yang positif, penuh kasih sayang dan tanpa radikalisme. Lalu saya perlu tambahkan, terkait beredarnya foto, video, gambar baik korban maupun terduga pelaku, kami menghimbau kepada masyarakat luas agar tidak mempublikasiÂkan identitasnya. Mengingat publikasi identitas anak baik sebagai korban, saksi maupun pelaku merupakan pelanggaran Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. ***
BERITA TERKAIT: