Hal ini diungkap peneliti dari Perkumpulan Prakarsa, Herni Ramdlaningrum. Survei yang dilakukan pihaknya di lima kaÂbupaten kota, yaitu Yogyakarta, Kulonprogo, Wonosobo, Bojonegoro, dan Malang dengan 789 responden menunjukkan, hanya 14 persen yang menyatakan pernah mengikuti pelatihan kerja-pelatihan vokasi.
Survei ini dilakukan dari November 2017 sampai Januari 2018. Pihaknya menemukan 70 persen dari yang mengiÂkuti pelatihan menyebutkan pelatihan memberikan manfaat kemudahan mencari kerja. "Sementara 55 persen dari yang mengikuti pelatihan menyeÂbutkan, biaya pelatihan ditangÂgung pihak lain baik pemerintah maupun perusahaan," katanya di Jakarta.
Herni menyebutkan, rendahnya pekerja yang memiliki kesempatan mendapatkan pelatihan juga tercermin dalam data Survei Kerja Nasional (Sakernas) BPS. Rata-rata hanya 6 persen pekerja di tingkat nasional yang pernah mengikuti pelatihan dari 2008 sampai 2015.
Kondisi ini tentu menghawatirkan. Apalagi di tengah berlangÂsungnya Revolusi Industri ke-4 yang berpotensi mengubah strukÂtur produksi kerja. "Perubahan pola produksi yang berbasis pada otomatisasi dan digitalisasi membutuhkan keahlian dan keterampilan tertentu dari pekerja," ujarnya.
Hal ini disayangkan Program Manager
International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Siti Khoirun Ni'mah. Dia menilai, minimnya pelatihan kerja bagi pekerja dan angkatan kerja, menjadi tantanganserius Indonesia dan masa depan Indonesia.
"Untuk itu, kebijakan pemerintah dalam industri 4.0 harus berorientasi pada pekerja dan angkatan kerja. Juga harus meÂmastikan, pekerja yang sekarang berada pada struktur produksi tidak kehilangan pekerjaan menÂjadi prioritas kebijakan pemerinÂtah," katanya.
Menurut Siti, hal ini dapat dilakukan dengan meningkatÂkan investasi pada pekerja. Salah satunya, dengan menamÂbah jumlah balai-balai latihan kerja di berbagai daerah di Indonesia.
Keberadaan pelatihan kerja yang memberikan jenis keahliandan keterampilan seiring dengan perkembangan industri pun harus merata di berbagai daerah. Dengan demikian, balai-balai latihan kerja tersebut dapat diÂakses pekerja dengan mudah.
Selain itu, Pemerintah perlu menambahkan anggaran pelatiÂhan kerja di dalam Anggaran dan Belanja Pemerintah Nasional dan Daerah (APBN/APBD). Saat ini alokasi anggaran di bidang ketenagakerjaan masih sangat rendah. Jauh dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk negara-negara di ASEAN seperti Malaysia dan Singapura.
"Alokasi anggaran oleh pemda (provinsi, kabupaten dan kota) untuk pelatihan kerja, bimbingankerja dan pemagangan juga sangat minimal," kata Ni'mah.
Pihaknya mengusulkan adanya penguatan dialog multi-pihak dalam kebijakan ketenagakerjaan. Selain dunia industri, serikat pekerja dan masyarakat sipil haruslah dilibatkan dalam setiapkebijakan ketenagakerjaan menghadapi industri 4.0.
Untuk itu, lanjutnya, pelibatan serikat pekerja dapat dilakukan dalam memecahkan masalah yang sulit. Seperti merger dan konsolidasi, regulasi baru baik dari pemerintah maupun inÂdustri, alih daya dan adopsi teknologi baru atau peningkaÂtan/modifikasi teknologi yang sudah ada.
Tak hanya itu, masih menurut Siti, pemerintah juga perlu memÂbuat Rencana Aksi Pelatihan Kerja, sebagai bagian dari Strategi Indonesia menghadapi Industri 4.0. "Rencana Aksi juga menjawab masalah terbatasnya jumlah pekerja yang memiliki keahlian. Di samping akan menÂingkatkan keahlian pekerja yang sekarang ada di pasar kerja," tandasnya. ***