Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Rizal Ramli: Ibu Sri Mulyani Nggak Punya Nyali, Posisi Dia Maju Kena Mundur Kena

Selasa, 08 Mei 2018, 09:00 WIB
Rizal Ramli: Ibu Sri Mulyani Nggak Punya Nyali, Posisi Dia Maju Kena Mundur Kena
Rizal Ramli/Net
rmol news logo Rizal Ramli menantang Menteri Keuangan Sri Mulyani un­tuk debat terbuka soal utang Indonesia. Tantangan ini diberi­kan menanggapi arahan Presiden Jokowi pada acara Najwa Shihab. Saat itu dia minta supaya semua pihak yang mempersoalkan masalah utang untuk berdebat dengan SMI. Namun sampai sekarang SMI enggan menerima tantangan tersebut.

Seperti diketahui awal April lalu, pria yang akrab dipang­gil RR ini menyatakan bahwa utang Indonesia sudah "lampu kuning" atau harus diwaspa­dai. Bahkan RR menggambar­kan kondisi utang negara saat ini diibaratkan 'tutup lubang, gali jurang'. Artinya, sebagian bunga utang dibayar bukan dari pendapatan, melainkan utang baru.

Lantas bagaimana tanggapan RR atas tantangan yang diacuh­kan tersebut? Dan bagaimana penjelasan dia terkait kondisi utang Indonesia saat ini? Berikut penuturannya kepada Rakyat Merdeka.

Sri Mulyani sampai saat ini belum menanggapi tantangan Anda untuk debat terbuka soal utang negara. Bagaimana itu?
Ya sebetulnya kan yang minta debat itu Presiden Jokowi. Menterinya sampai hari ini bisa dibilang nolaklah ya. Itu bisa berarti dua hal, satu Ibu Sri Mulyani enggak punya nyali. Karena nanti kalau diskusi beneran akan ketahuan siapa yang manipulatif datanya. Datanya sepotong-sepotong dan tidak komprehensif.

Kalau begini enggak jelas siapa yang presiden, dan siapa yang menkeu. Siapa yang bos, dan siapa yang bawahan.

Menurut saya masalah ini sudah masalah besar, utang kita sudah 'lampu kuning'. SMI ini sebetulnya maju kena, mun­dur kena. Apalagi Ketua MPR Zulkifli Hasan sudah bersedia jadi wasitnya, dan rakyat semua ingin ada diskusi yang sehat soal ini.

Maksud Anda maju kena mundur kena apa?
Karena kalau maju dia harus debat sama saya, jadi rakyat Indonesia bisa tahu mana yang menggunakan data yang ma­nipulatif, data yang sepotong-sepotong. Tapi kalau dia enggak mau maju, enggak bagus ke Pak Jokowi. Dia sudah perin­tahkan, tapi menterinya malah nolak. Kita kan jadi bingung, siapa yang presiden, siapa yang menteri keuangan, siapa yang anak buah.

Sri Mulyani kabarnya malah menugaskan bawah­annya untuk melayani debat dengan Anda. Apakah Anda bersedia?
Bukan tugas dirjennyalah itu. Harusnya dia bisalah. Biar jelas nanti siapa yang pakai data-data sepotong, siapa yang bagian dari masalah, siapa yang selalu menerbitkan surat utang dengan bunga ketinggian.

Maksudnya bunga utang ketinggian bagaimana?

SMI itu pernah menyepakati penerbitan utang kepada asing dengan bunga lebih tinggi. Nilainya dua persen lebih tinggi jika dibandingkan dengan surat utang yang diterbitkan nega­ra tetangga, seperti Filipina, Thailand, dan Vietnam. Padahal, seharusnya peringkat surat utang ketiga negara tersebut lebih rendah dari dia terbitkan.

Saat itu bond-nya (surat utang) 43 miliar dolar AS, tapi hampir 11 miliar dolar AS ekstra bunga yang harus masyarakat bayar. Jadi saya minta Sri Mulyani tukar bond dengan pembiayaan yang lebih murah, karena harusnya Indonesia di bawah Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Bisa dijelaskan data ma­nipulatifnya itu yang mana?

Baca saja di google deh. Terlalu banyak di google.

Sebelumnya Kemenkeu su­dah membantah pernyataan anda soal utang Indonesia su­dah 'lampu kuning'. Dalihnya menyebutkan semua lembaga pemeringkat dunia menyata­kan Indonesia adalah invest­ment grade. Apa tanggapan Anda?
Kalau investment grade, har­usnya penerbitan surat utang dia yang terakhir laku. Tapi ternyata kan enggak. Sudah investment grade masa yang beli hanya seperempatnya.

Pemerintah menyatakan saat ini mereka sudah menu­runkan defisit APBN sejak 2012, dan primary balance. Kata mereka nilainya malah meningkat lagi saat anda menjabat menteri 2015 lalu. Apa tanggapan anda?
Pernyataan yang ngawur itu. Saya saat itu jadi Menko Maritim, dan bukan tupoksinya ngurusin makro ekonomi. Itu tanggung jawab menko pereko­nomian.

Terkait yield surat utang, kalau menurut pemerintah sejak 2016-2017 sudah menga­lami penurunan. Apa tanggapan Anda?
Kenyataannya SBN (Surat Berharga Negara) mulai eng­gak laku, yang terserap cuma 22,5 persen dari target. Permintaan yang masuk Rp 17,02 triliun, sedangkan yang diserap cuma Rp 6,15 triliun. Sementara target penyerapan adalah Rp 17 triliun, hingga maksimal sampai Rp 25,5 trili­un. Padahal, bunga sudah tinggi, invesment grade, menkeu ter­baik dunia, tapi nyatanya loyo semua.

Saat ini perekonomian Indonesia melemah. Nilai tu­kar rupiah terhadap dolar AS anjlok. Apa tanggapan Anda terkait masalah ini?
Selain faktor internasional, ada faktor domestik juga yang mempengaruhi. Ini jarang se­cara jujur dikatakan, apa itu? Sederhana, itu account defisit. Ekspor tiga bulan negatif tapi bulan ini naik sedikit, terus service payment itu, kemudian kalau account priamary bal­ance atau keseimbangan primer istilahnya itu juga negatif itu membuka Indonesia, rupiah makin lama anjlok.

Pada 1996 kami sudah men­geluarkan forecast 200 hala­man. Kami bilang, 'hati-hati karena ada awan mendung di atas Indonesia, dan bisa jadi kri­sis'. Tapi kami dibantah, 'Rizal Ramli nggak benar' katanya. Gubernur BI dan Menkeu juga bantah. Padahal dasar penilaian kami sederhana, indikator ac­count defisit Indonesia negatif cukup besar. Kami yakin itu pasti bikin rupiah melemah, dan utang Indonesia, swasta banyak banget.

Lalu apa masukan Anda terkait masalah ini?

Pemerintah saat ini harus fokus memperbaiki ekonomi, sehingga apabila ada gangguan dan efek dari eksternal, maka tidak akan mengancam kestabi­lan ekonomi dalam negeri.

Perbaiki badan ekonomi kita menjadi kuat dan tangguh, su­paya kalau kita ke negara yang ada virus, atau negara lain lewat kita enggak ada masalah. Saya lihat saat ini ada banyak kebi­jakan pemerintah yang harus diubah, karena dampaknya tidak baik terhadap pertumbuhan dan eksistensi pengusaha kecil dan menengah.

Contohnya kebijakan perpaja­kan yang terlalu menekan pelaku usaha kecil. Sekarang ini usaha kecil mau untung atau rugi tetap harus bayar pajak 0,5 persen dari total omset. Kalau rugi, gimana mau bayar.

Tetapi di sisi lain, pemerintah memberikan insentif untuk me­narik investasi asing, ditawarkan tidak usah bayar pajak selama 30 tahun. Ini yang menurut hemat kami, harus diperjuangkan, investor asing digratiskan bayar pajak tetapi rakyat kecil ditarik pajak. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA