"KPK senantiasa bekerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keuangan) dalam menelusuri setiap tranÂsaksi mencurigakan," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.
PT Diratama diduga meraupuntung Rp 150 miliar dari proyek pembelian heli untuk TNI Angkatan Udara itu.
KPK telah memperoleh data transaksi keuangan perusaÂhaan itu. Termasuk pengiriman dana dalam jumlah besar kepada sejumlah pihak.
"Aliran dana masih didalami penyidik," kata Febri.
Sebelumnya, Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengungkapkan pihaknya melacak aliran dana Rp 340 miliar dari PT Diratama ke luar negeri.
"Transaksi ke Singapura dituÂjukan ke perusahaan terafiliasi dengan perusahaan penyedia baÂrang (PT Diratama)," sebutnya.
PPATK juga menemukan aliran dana dari PT Diratama ke Inggris. Duit ini diduga untuk pembayaran pembelian heli kepada vendor.
Kontrak pengadaan heli AW 101 antara TNI AU dengan PT Diratama Rp 738 miliar. Padahal, PT Diratama membeli heli dari vendor Rp 514 miliar. Akibatnya terjadi kerugian negara Rp 224 miliar.
Berdasarkan analisis PPATK, PT Diratama mengantongi duit Rp 150 miliar dari proyek ini. Menurut Kiagus, semua data itu telah diserahkan ke KPK, Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU).
Dalam penyidikan kasus ini, KPK telah menelusuri pembaÂyaran duit proyek kepada PT Diratama. Pembayaran lewat bank. Dua pejabat Bank BRI Cabang Mabes TNI Cilangkap, Ratna Komala Dewi dan Bayu Nurpratama pun diperiksa.
"Bagaimana prosedur pemÂbayaran uang muka heli kepada rekanan. Kapan dilaksanakan, bagaimana pembahasannya, serta berapa anggaran uang muka yang dibayarkan," kata Febri.
Untuk membongkar kasus korupsi di tubuh TNI AU ini, KPK melakukan penyelidikan bersama Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI.
Pelaku anggota militer ditanÂgani Puspom TNI. Sedangkan KPK mengusut pelaku sipil. Sejauh ini, KPK baru menetapÂkan Irfan Kurnia Saleh, bos PT Diratama sebagai tersangka.
Sementara Puspom TNI teÂlah menetapkan lima tersangÂka. Yakni bekas Kepala Dinas Pengadaan TNI AU Marsekal Pertama Fachri Adamy, Kepala Unit Layanan Pengadaan TNI AU Kolonel FTS, Letnan Kolonel WW selaku Pejabat Pemegang Kas, dan Pembantu Letnan Dua SS yang berperan memberikan uang ke sejumlah pihak.
Belakangan, Asisten Perencanaan Kepala Staf TNI AU Marsekal Muda Supriyanto Basuki menyusul ditetapkan sebagai tersangka.
Dari hasil penyelidikan bersama, tender proyek heli telahdiatur agar jatuh ke PT Diratama. Irfan sudah meneken kontrak dengan vendor Agusta Westland pada Oktober 2015. Padahal, saat itu tender belum dibuka.
Untuk memberi kesan terjadi kompetensi, Irfan mengatur PT Karya Karya Cipta Gemilang (KCG) menjadi rival PT Diratama dalam tender ini.
Kilas Balik
Bekas KSAU Ogah Diperiksa, KPK Koordinasi Ke Puspom TNI
Bekas Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Agus Supriatna memenuhi panggilan KPK pada 3 Januari 2018. Namun purnawirawan Marsekal itu menolak memberikan keterangan soal pembelian heli AW 101.
Lantaran itu, pria yang menÂgakhiri dinas militernya pada 2017 itu tak lama di KPK. Lewat tengah hari, Agus keluar didampingi sejumlah pengacara.
"Saksi tidak bersedia memÂberikan keterangan dengan alaÂsan saat kejadian saksi menjabat sebagai KSAU dan merupakan prajurit aktif. Sehingga terkait dengan rahasia militer," kata juru bicara KPK Febri Diansyah.
Menyikapi penolakan Agus, KPK bakal berkoordinasi dengan Puspom TNI. Febri meyakini Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mendukung upaya penÂegakan hukum. Apalagi, kasus ini disorot Presiden Joko Widodo.
"Kami percaya komitmen Panglima TNI masih sama kuatÂnya dalam pengusutan dugaan korupsi di pengadaan heli AW 101 ini," kata Febri.
Rencananya, Agus diperiksa KPK sebagai saksi bagi terÂsangka Irfan Kurnia Saleh, Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri. Perusahaan itu ditunjuk sebagai rekanan TNI AU dalam pengadaan heli AW 101.
Agus merupakan saksi penting.Sebab, pengadaan heli yang merugikan negara Rp 220 miliar itu terjadi saat Agus menÂjabat KSAU.
Sebelum meninggalkan KPK, Agus berdalih tak bisa buka-buÂkaan soal pembelian heli AW 101 karena terikat sumpah prajurit. Ia sempat menunjukkan buku saku berwarna biru gelap dari dalam jaket hitamnya.
Buku kecil itu berisi peraturandan sumpah prajurit TNI. "Sumpah prajurit kelima: memegang segala rahasia tentara sekeras-kerasnya. Itu enggak boleh (dibuka)," dalihnya.
Mengenai heli AW 101, Agus menganalogikan seperti mobil Ferrari. Mobil sport itu bisa dipakai berkendara sehari-hari. Juga bisa untuk balapan.
"Saya pernah datang ke showÂroom mobil Ferrari. 'Ini Ferrari untuk apa nih? Ini untuk jalan, Pak'. 'Oh buat jalan begini toh Ferrari-nya. Tapi saya inginkan suatu saat Ferrari ini dipakai unÂtuk balapan, untuk trek-trekkan," ujarnya.
Agus melanjutkan, orang showroom menawarkan meningkatkan performa. "Nanti di mesinnya akan tambah ini, Pak.
Wearing-nya akan tambah ini. Body-nya harus pasang spoiler, Pak'," ujar memberikan gamÂbaran. "Jadi di mobil itu sudah dipasang bermacam-macam wearing."
Mengacu kepada analogi itu, Agus disinggung mengenai peningkatan yang dilakukan terhadap heli AW 101. Namun dia menolak membeberkan. 'Rahasia,' elaknya.
Dalam penyidikan kasus ini, Puspom TNI menetapkan bekas Kepala Dinas Pengadaan TNI AU Marsekal Pertama Fachri Adamy sebagai tersangka. Fachry pejabat pembuat komitmen (PPK) pengadaan heli itu.
Tersangka lainnya adalah Letnan Kolonel TNI AU (Adm) WW selaku Pejabat Pemegang Kas, Pembantu Letnan Dua SS selaku staf Pemegang Kas, dan Kolonel FTS selaku Kepala Unit Layanan Pengadaan. Belakangan, Asisten Perencanaan (Asrena) KSAU Marsekal Muda Supriyanto Basuki turut menjadi tersangka.
Sementara dari pihak sipil baÂru satu yang ditetapkan tersangÂka. Yakni Irfan Kurnia Saleh, Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri. Penyidikan pelaku dari kalangan sipil ditangani KPK. ***
BERITA TERKAIT: