Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

WAWANCARA

Dwikorita Karnawati: Letak Indonesia Itu Di Zona Pertemuan Lempeng Tektonik Aktif Sehingga Rawan Gempa Bumi

Selasa, 06 Maret 2018, 08:53 WIB
Dwikorita Karnawati: Letak Indonesia Itu Di Zona Pertemuan Lempeng Tektonik Aktif Sehingga Rawan Gempa Bumi
Dwikorita Karnawati/Net
rmol news logo Sebelumnya Jakarta disebut berpotensi mengalami gempa bumi megahtrust dengan magni­tudo 8,7. Hal itu sempat disam­paikan oleh Ketua Umum Ikatan Alumni Meteorologi Geofisika (Ikamega) Subardjo.

Menurut dia, gempa tersebut berpotensi terjadi seperti gempa Aceh pada 2004 silam. Namun, kata dia, yang harus diwaspadai adalah getaran dari gempa itu sendiri, bukan terjadinya tsunami.

Lantas bagaimana pandangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait masalah ini? Berikut penu­turan Kepala BMKG Dwikorita Karnawati.

Apa tanggapan ada soal adanya potensi gempa Megahtrust di Jakarta?
Soal adanya potensi gem­pa itu sebetulnya hingga kini masih dalam kajian. Namun sa­ya mengimbau masyarakat agar tetap waspada terhadap segala bencana alam, terutama gempa bumi. Sebab, Indonesia itu terle­tak di zona pertemuan lempeng tektonik aktif sehingga rawan terjadi gempa bumi.

Tapi ada peneliti yang sudah bisa memprediksi terjadinya gempa tersebut?
Memang ada beberapa peneliti yang memperkirakan itu terjadi, tapi peneliti yang lain mengang­gap potensi itu kecil. Jadi ini bahan kajian yang belum ada kesimpulannya.

Berdasarkan kajian BMKG sejauh ini, apakah potensi ter­jadinya gempa tersebut?

Saya belum tahu, karena kan belum ada hasil kajiannya, be­lum ada kesimpulannya. Tapi begini, berbeda dengan gempa yang belum terprediksi, tsu­nami seperti itu tuh sudah bisa diprediksi. Gempa thrust itu dipicu oleh tumbukan lempeng tektonik di Samudra Hindia. Akibatnya, kata dia, ada lem­peng yang tertekuk, dan me­nyundul lempeng di atasnya, hingga berakibat adanya thrust (patahan). Saat itulah terjadi release energi, lewat batuan dan tanah yang kemudian dirasakan sebagai gempa. Lalu maksi­mum 5 menit setelah gempa bumi, instrumentasi dan pro­cessing kami bisa menganalisis lokasi, magnitude, kedalaman, apakah berpotensi tsunami atau tidak. Dan 10 menit kemudian bisa memperbaharui data.

Maksudnya memperbaharui itu mengkoreksi data dengan lebih akurat?
Bukan, memperbaharui data itu bukan ralat atau sebuah kesalahan deteksi. Itu bukan kesalahan, tapi setelah 5 menit lebih banyak sensor yang men­girimkan informasi, sehingga semakin tajam. Itulah sebabnya, 2 jam setelah perkiraan datang­nya tsunami, menjadi perkiraan waktu setelah 5 menit pertama, menjadi durasi peringatan dini tsunami. Baru setelah dua jam tidak terjadi tsunami, peringatan akan diakhiri. Dan itu terjadi di manapun, di negara manapun.

Tadi kan anda mengingat­kan supaya masyarakat was­pada karena Indonesia ter­masuk daerah rawan gempa. Memang berdasarkan pan­tauan BMKG, seberapa sering gempa terjadi di Indonesia?
Berdasarkan data yang ada di BMKG, dalam 1 tahun terjadi setidaknya 6.000 kali gempa bumi. Tapi kan kita enggak terasa, karena itu gempa-gempa kecil yang kurang dar 5 SR. Sedangkan yang kekuatannya lebih dari 5 SR, jumlahnya seki­tar 350 kali. Dan yang kekuatan­nya di atas itu ada sekitar 3,4, atau 5 kali.

Lalu apa yang disarankan BMKG guna menyikapi ker­awanan ini?
Guna menyikapinya BMKG mendukung digiatkannya upaya mitigasi demi menciptakan masyarakat terampil, cekatan, dan terlatih dalam menolong dirinya sendiri saat terjadi ben­cana. Mitigasi bencana itu sangat penting untuk meningkatkan self assistance dalam menghadapi bencana. Pasalnya, kepastian tidak ada. Karena memang bukti dan data belum cukup lengkap untuk pastikan itu akan terjadi. Pentingnya mitigasi bencana itu sudah terbukti saat bencana gempa di Kobe, Jepang, pada 1995. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA