Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

CATATAN TENGAH

Golkar, Pecundang Yang Tak Terkalahkan

Parlemen Rusia Undang Ketua DPR ke Moskow

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 06 Maret 2018, 07:44 WIB
Golkar, Pecundang Yang Tak Terkalahkan
*Contoh rancangan buku terbaru Bambang Soesatyo/Repro
DI tengah masih tajamnya sorotan terhadap DPR RI yang memproduksi UU kontroversil seperti UU MD3, sebuah buku baru tentang Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, segera diluncurkan oleh penerbit terkemuka Gramedia Pustaka Utama.

Draft cover, nya, terlampir di bagian kiri bawah tulisan ini.

Buku ini terbit bukan karena kemauan Bamsoet -  sapaan akrabnya - apalagi dimaksudkan dalam rangka pencitraan dirinya yang berhasil menggantikan Setyo Novanto - seorang politisi flamboyan.

Buku ini murni sebuah respon dari sejumlah wartawan Angkatan 80-an dan kolega Bamsoet yang 'ditangkap' oleh seorang Jurnalis senior.

Namun karena politik Indonesia sejauh ini masih diwarnai oleh berbagai kontroversi, maka terbitnya buku Senandung Jurnalis Dalam Tembang Politisi, juga bisa mengungkap sejumlah kontroversi politik.

Isinya merupakan sebuah kompilasi. Mulai dari perspektif, reaksi, ulasan sampai dengan testimoni dari berbagai kalangan terhadap kiprah Ketua DPR RI Bambang Soesatyo, saat politisi Golkar ini menjadi jurnalis di era represif dan otoriter, lebih dari 30 tahun lalu.

Tentu saja, termasuk pengakuan Bamsoet bagaimana sulitnya menjadi wartawan dari sebuah media yang tidak dikenal punya reputasi saat itu: harian 'Prioritas'.

Generasi baru wartawan yang tidak pernah mengalami kehidupan pers yang terkekang, melalui buku ini bisa melihat demikian sempitnya ruang gerak wartawan dalam melakukan kontrol sosial.

Betapa tak nyamannya profesi wartawan sebagai sebuah pilihan hidup.

Melalui buku ini, bisa dilihat politik di zaman lampau - di mana Golkar sebagai bagian dari kekuasaan, pernah menjadi kekuatan anti-demokrasi.

Sebaliknya sekaligus uniknya, Bamsoet yang terjun ke dunia jurnalistik untuk memperjuangkan demokrasi, memilih Golkar sebagai wadah perjuangan.

Partai berlambang Pohon Beringin ini, di era tahun 1970 - 1980-an, bahkan hingga pertengahan 1990-an, banyak melakukan pematian atas benih-benih demokrasi.

Lalu apakah dengan latar belakang itu, Bambang Soesatyo juga seorang politisi Golkar yang anti-demokrasi?

Atau apakah latar belakang inilah yang menyebabkan, Bambang sebagai ketua DPR RI tidak bisa mencegah lolosnya UU MD3 - sebuah produk legislasi di era kepemimpinannya yang digadang-gadang menjadi pembelenggu demokrasi?

Bicara tentang Golkar, politik Indonesia era 30 tahun lalu, memang tak bisa tidak sama dengan bicara sisi hitam ataupun kelabu dari kehidupan demokrasi Indonesia.

Bicara tentang Golkar dan politik Indonesia 30 bahkan 32 tahun lalu, sama dengan membahas DPR-RI sebagai sebuah lembaga tinggi negara yang banyak mengandaskan sejumlah perjuangan demokrasi.

Politik Orde Baru di era tiga dekade lalu adalah politik Golongan Karya atau Golkar. Partai Golkar adalah dominator politik Indonesia.

Kalau dominasi Golkar di masa lampau mau dipersoalkan - hasilnya hanya akan melahirkan sebuah perasaan kecewa dan sakit hati, terutama bagi para pejuang demkorasi. Kisi-kisinya banyak melahirkan tanya.

Misalnya kok Golkar yang menjadi bagian dari pemerintahan yang represif dan otoriter, politisinya justru lebih mampu atau berhasil menguasai pimpinan DPR RI?

Betulkah kader Golkar lebih militan, siap dan memguasai berbagai persoalan politik Indonesia mulai dari 'the don’t’s sampai dengan the do’s?' Mulai dari yang tidak dibolehkan sampai dengan yang dapat dibolehkan.

Kok DPR RI sebagai sebuah lembaga yang mempromosikan demokrasi, hingga sekarang belum bisa tampil sebagai sebagai lembaga dan kekuatan yang mampu melawan berbagai bentuk dan tindakan anti-demokrasi?

Artinya kalau politisi Golkar dan Partai Golkar memang dominan, mengapa peran (mereka) dalam penegakan demokrasi ada kontradiksi dan kontroversi.

Di era reformasi, dimana Golkar tidak lagi memegang kendali poilitik, partainya Bambang Soesatyo ini masih bisa 'mengungguli' atau 'mengakali' parpol-parpol pemenang Pemilu.

PDIP pernah mengalaminya di tahun 1999 - 2004 dan Partai Demokrat di tahun 2004 hingga 2014.

Secara hitung-hitungan suara hasil Pemilu, PDIP meraih suara terbanyak dalam Pemilu Reformasi Juni 1999. PDIP menggungguli Golkar. Tapi yang menjadi Ketua DPR-RI, bukan politisi PDIP. Melainkan Akbar Tanjung seorang politisi Golkar.

PDIP menang dalam pertempuran tapi Golkar melahirkan pahlawan perang.

Dalam Pilpres 2004, Partai Demokrat yang menjadikan SBY sebagai jagoannya, keluar selaku pemenang.

Tapi pada tahun 2004 itu pula, Jusuf Kalla sebagai Wapresnya SBY, terpilih sebagai Ketua Umum Golkar. Semenjak keterpilihan Jusuf Kalla, warna kepemimpinan SBY, tidak bisa 100 persen condong ke garis perjuangan Partai Demokrat.

Rezim SBY boleh dibilang sebuah pemerintahan Demokrat yang berasa Golkar.

Nasi goreng Jawa berasa dan beraroma coto Makassar.

Baru dalam Pilpres 2009, SBY sebagai tokoh Demokrat, bisa tegak. Tetapi SBY sebagai politisi maupun jenderal purnawirawan, tidak bisa mengesampingkan peran Golkar begitu saja. SBY harus berbagi kavling kekuasaan dengan elit-elit Golkar.

Golkar membuktikan, setelah reformasi 1998, dimana pemimpin Golkar tidak pernah lagi memenangi persaingan dalam memperebutkan kepemimpinan nasional, namun dalam setiap rezim, Golkar selalu mampu menanamkan pengaruh ‘warna kuning’-nya.

Dalam ungkapan yang lebih filosofis, Golkar merupakan pecundang, kontestan yang gagal. Tetapi sejatinya tidak pernah terkalahkan. Jadilah Golkar sebagai partai pecundang yang tak pernah kalah.

Dalam setiap kekuasaan posisi Golkar tetap kuat atau selalu diperhitungkan.

Lihat saja kebijakan Presiden Joko Widodo. Hanya Ketua Umum Partai Golkar. Airlangga Hartarto yang boleh merangkap jabatan Menteri (Perindustrian).

Tjahjo Kumolo (Mendagri) dari PDIP, Wiranto (Men Polkam) dari Hanura, harus melepas jabatan struktural, di masing-masing partai mereka.

Sedianya buku ini diluncurkan pada 6 April 2018. Namun karena kesibukan baru Bamsoet sebagai RI-6, peluncuran baru bisa diagendakan pada 31 Mei 2018.

Tempat peluncurannya di Bentara Budaya, Jakarta Barat salah satu venue yang mempromosikan berbagai budaya warna Indonesia, untuk memberi aksentuasi bahwa politisi Golkar ini lebih ingin menonjolkan budaya sebagai pengikat dan pemersatu bangsa.

Kesibukan Bambang Soesatyo setelah menjadi Ketua DPR-RI, memang cukup tinggi.

"Baru dua minggu saya dilantik sebagai ketua, tetapi setiap kali mau pulang rumah, saya merasa sudah seperti tiga bulan bekerja di sini….," ujar Bambang Soesatyo beberapa waktu lalu di ruang kerjanya lantai III, Gedung DPR/MPR Senayan.

Pekerjaan atau tugas terberatnya sebagai ketua DPR-RI yang masa kerjanya kurang dari dua tahun adalah mengembalikan DPR sebagai lembaga kontrol sekaligus mitra kerja pemerintah.

Dalam konteks itu, DPR-RI harus bisa mengerem nafsu sejumlah politisi Senayan, yang ingin menggembosi KPK.

Kurang dari sebulan setelah dilantik, Bamsoet berkonsultasi dengan sejumlah pakar hukum dan ketata negaraan seperti Prof.Dr. Mahfud MD.

Setelah itu Bamsoet menggelar rapat dengan Pansus KPK.

Rapat akhirnya memutuskan tidak melanjutkan tuntutan agar ada sebuah kekuatanatau badan baru yang mengawasi KPK.

Tugas terberat lainnya Bamsoet, mengawal amamdemen UU MD3, agar aspirasi PDIP sebagai partai peraih suara terbanyak di Pileg 2014, terakomodir.

Bamsoet selaku pimpinan DPR-RI sukses melobi seluruh fraksi yang jumlahnya mewakili 10 partai, agar menyepakati perubahan UU tersebut.

Saat tulisan ini disiapkan, tugas legislasi Bamsoet mengawal fit and proper test calon Gubernur Bank Indonesia, sedang berlangsung.
.
Kesibukan lain Bamsoet bagaimana memenuhi berbagai undangan.

Selain undangan dari dalam negeri, Bamsoet perlu melakukan kunjungan ke daerah pemilihan. Dan pada minggu ketiga bulan Maret ini, Bamsoet harus melakukan lawatan ke Swiss selama seminggu.

Belum lagi sempat memastikan bisa hadir atau tidak memenuhi berbagai undangan, Ketua DPR-RI yang baru dilantik 15 Januari 2018 ini, telah menerima undangan dari Duma, Parlemen Rusia.

Ketua Parlemen dari negara bekas pecahan Uni Sovyet ini ini sangat berharap Ketua DPR-RI Bambang Soesatyo bisa menginjakkan kaki di Moskow di musim panas tahun ini.

Kepadatan acara Bamsoet, berpengaruh pada kesempatan saya bertemu untuk melakukan penajaman atas buku yang sedang dirampungkan: Senandung Jurnalis Dalam Tembang Politisi.[***]

Penulis merupakan wartawan senior

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA