Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demokrasi & Kebebasan Pers, Tetap Terjamin

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Selasa, 27 Februari 2018, 00:20 WIB
Demokrasi & Kebebasan Pers, Tetap Terjamin
Foto/Net
PENGAMAT senior dan aktifis Angkatan 66, Christianto Wibisono, bereaksi kontra terhadap tulisanku kemarin. Dia tidak setuju dengan perspektif diberlakukanya kembali UUD 45 yang asli.

Christianto yang mantan Jurnalis, tidak melihat adanya kelemahan dalam UUD 45 yang diamandemen MPR-RI tahun 2002 dan kini menjadi rujukan semua ketentuan hukum. Kata pendiri Pusat Data Bisnis tersebut kebebasan pers dan demokrasi, pasti terkekang kembali.

"Kita akan kembali ke zaman otoriter", tulisnya melalui jaringan pribadi ke saya, kurang dari satu jam setelah postinganku "Catatan Tengah" edisi Minggu 25 Pebruari beredar di dunia maya.

Saya paham maksudnya. Tapi saya tidak sependapat dengannya. Sekalipun tidak sependapat, saya menghargai perbedaan sisi pandangnya.

Christianto Wibisono yang traumatis dengan Kerusuhan Mei 1998 -karena putrinya disebut-sebut menjadi salah satu korban, sepertinya kurang memahami pemikiran yang melatarbelakangi pentingnya sinkronisasi atas filosofi dan dasar negara kita.

UUD 45 yang kita jadikan rujukan adalah konstitusi hasil amandemen oleh MPR-RI tahun 2002. Amandemen itu kelihatannya baik. Tapi dalam pelaksanaannya dan jiwanya tidak sinkron dengan Pancasila 1945.

Semangat dan korsa UUD 45 hasil amandemen itu, bertolak belakang dengan Pancasila 1945. Secara idiel dan budaya, UUD 45 dan Pancasila sebagai filosofi bangsa, "bersaing secara tidak sehat".

UUD 45 fondasinya liberal, kebarat-baratan, lebih Barat dari Amerika dan Inggeris ataupun Australia. Sementara Pancasila semangatnya tetap mengedepankan kesepakatan. Musyawarah mufakat.

Kembali ke UUD 45 yang asli, konsekwensinya memang banyak. Berbagai UU harus direvisi kembali. Termasuk sistem pemilihan Presiden, Gubernur, Walikota dan Bupati serta anggota DPR. Namun menerima konsewkensi itu, jauh lebih baik dari pada tidak mensinkronkan UUD 45 dan Pancasila. Sebab kalau kita terus mengadopsi UUD 45 hasil amandemen 2002, kita tinggal menghitung waktu, kapan NKRI terpecah belah.

Terpecahnya sebuah negara, bukan hal baru. Kalau negara seperti Yugoslavia di Eropa Tengah -sebuah negara pluralis seperti Indonesia bisa terpecah belah menjadi hampir 10 negara, dalam waktu lima tahun, maka perpecahan Indonesia atau disintegrasi bukan pula hal yang mustahil. Perbedaannya mungkin, hanya terletak pada soal waktu dan proses. Indonesia mungkin butuh waktu lebih lama dari itu. Tapi endingnya tetap pecah.

Perpecahan sebuah negara yang lebih besar dari Indonesia, juga sudah terjadi.

Uni Sovyet adalah contohnya. Sebuah negara komunis yang rentang wilayahnya dari Eropa Barat hingga Asia Timur, dengan perbedaan waktu sampai tujuh jam. Tercatat sebagai salah satu negara terkuat, pesaing Ameeiuka Serikat.

Di tahun 1990, akhirnya pecah yang menghasilkan negara-negara baru seperti Ukraina, Moldova, Georgia, Khazakstan, Uzbekistan dan lainnya serta Rusia tentunya.

Antisipasi seperti Yugoslvia dan Uni Sovyet itulah yang dikhawatirkan bisa terjadi pada negara kita. Bibit perpecahan itu sendiri -ibarat bunga, sudah mekar di daerah-daerah seperti seperti Papua, Aceh, Maluku Selatan dan Minahasa, Sulawesi Utara.

Peringatan untuk bangsa drasakan semakin mendesak.

Dengan terlebih dahulu menyampaikan berjuta maaf kepada para wakil rakyat dan pemerintah yang melahirkan berbagai UU belakangan ini, yang bersumber pada UUD 45 Hasil Amandemen 2002, saya terpaksa katakan. Kalian bukanlah negarawan. Seperti para pendiri bangsa...

Mereka, para pendiri bangsa, setiap kali membuat UU, yang mereka lakukan -semua pemikiran berpijak pada visi ke depan. Sedangkan anda-anda kelihatannya makin tidak visioner melihat persoalan bangsa.

Hampir semua UU baru yang dibuat belakangan ini, direvisi, selalu mengandung kelemahan. Sehingga selalu terbuka untuk di judicial review di Mahkamah Konstitusi. Letak kelemahannya pada kemampuan dan bobot melihat persoalan.

Contoh terbaru rakyat disuruh menunggu amandemen UU MD3, agar PDIP, secara proporsional terwakili dalam unsur kepempimpinan di lembaga legislatif.

Eh …… yang terjadi, Revisi UU MD3 justru melahirkan pengekangan berbicara. Atas kasus ini, saya khawatir peran makelar-makelar politik untuk menghancurkan Indonesia melalui UU, semakin kuat. Perubahan substansi UU MD3, mau tak mau mengundang tanya peran Menteri Hukum dan HAM yang mewakili pemerintah.

Apa mungkin Pak Menteri dari PDIP ini, tak sadar telah terkena "guna-guna" atau "opo-opo". Sehingga amandemen menjadi melebar dan tidak fokus pada bagaimana mengakomodasi kepentingan PDIP.

Lebih aneh lagi, UU MD3 sudah disahkan oleh DPR dan wakil pemerintah, tetapi Presiden Jokowi sendiri merasa tidak sreg. Sehingga diputuskannya untuk tidak melakukan pengesahan.

Jadi dari kasus di atas saja, bisa terlihat begitu "abainya" para elit kita terhadap persoalan-persoalan penting yang menjadi pergumulan bangsa. Saya tambahkan, hampir semua tokoh elit terus berteriak tentang demokrasi kita yang keblablasan. Tapi pembiaran atas kebablasan itu, terus saja berlangsung.

Antara teriakan dan tindakan tidak sinkron.

Hampir semua tokoh politik setuju bahwa penyelenggaraan Pilkada untuk 550 kabupaten dan kota serta 34 provinsi, terlalu menguras energi dan biaya. Tapi tak satupun yang berani muncul dengan gagasan, bagaimana menghentikan semua pengurasan tersebut.

Hampir semua pihak memberi peringatan bahwa tahun 2019 merupakan tahun politik yang penuh resiko. Termasuk resiko terjadinya khaos, anarki bahkan "perang saudara".

Tapi tak satupun yang berani tampil di panggung dan berseru: "mari kita duduk bersama lakukan sebuah wujud persaudaran". Yang terjadi justru pembesaran suara yang saling memaki, menghujat dan merasa paling benar. Itulah sebabnya saya mengingatkan pentingnya kita kembali ke UUD 45 yang asli.

Ringkasnya, memang kita harus kembali ke sistem politik ala Orde Baru. Tapi tidak berarti kita kembali ke alam Orde Baru. Sekalipun saya termasuk yang merasakan beratnya melaksanakan demokrasi dan kebebasan pers di era Orde Baru, tapi kalau kita memberlakukan UUD 45 yang asli, saya tidak yakin akan terjadi pengekangan kembali.

Karena yang butuh demokrasi dan kebebasan pers itu lebih banyak dibanding mereka yang tidak membutuhkannya. Terakhir, tidak semua produk Orde Baru itu, buruk sebagaimana ada yang mencoba mempersepsikannya. Indonesia butuh warga bangsa yang punya integritas dan kemampuan menegakkan indentitas . [***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA