Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Demokrasi Kita Mirip Kemacetan Di Jalan Tol

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/derek-manangka-5'>DEREK MANANGKA</a>
OLEH: DEREK MANANGKA
  • Minggu, 25 Februari 2018, 19:46 WIB
Demokrasi Kita Mirip Kemacetan Di Jalan Tol
Ilustrasi/Net
KETUA DPR-RI Bambang Soesatyo diam-diam merasa galau dengan perkembangan demokrasi. Dalam sambutannya di Yogyakarta hari ini ketika menerima predikat Warga Kehormatan Muhammadiyah, politisi Golkar ini mengaku galau melihat perkembangan demokrasi Indonesia.

Di mata mantan Jurnalis ini, demokrasi Indonesia semakin hari semakin tidak menggembirakan dan berpotensi mengancam eksistensi dan independensi Indonesia sebagai sebuah bangsa.

Bambang Soesatyo tidak secara spesifik mengelaborasi tentang apa saja yang menjadi ancaman atas eksistensi dan independensi tersebut.

Yang bisa dipahami, sistem politik dan demokrasi yang kita adopsi selama satu dekade terakhir ini ternyata tidak menghasilkan solidnya sebuah persatuan nasional.

Indonesia berada dalam pusaran sebuah diisintegrasi bangsa.

Demokrasi kita, di atas kertas berjalan lancar. Tapi lancarnya, seper6i kendaraan yang masuk dalam jalur tol.

Setelah masuk ke dalam jalan bebas hambatan, kita mengalami banyak hambatan.

Ketika tak ada hambatan, dimana-mana terjadi tabrakan atau kecelakaan.

Mengapa sampai demikian seriusnya ?

Persoalannya terletak pada sistem politik yang kita anut.

Pelaksanaan demokrasi kita, di atas kertas, sebetulnya cukup baik. Sebab ditunjang oleh pilar -penyanggah yang sangat kuat. Yaitu UUD 45 dan Pancasila.

Tetapi pilar demokrasi ini akhirnya menggerogoti kekuatan dan persatuan bangsa, karena amandemen yang dilakukan pada UUD 45 di tahun 2002, telah merubah secara fundamental sistem politik yang kita anut yang sesuai dengan budaya ketimuran.

Demokrasi kita menjadi kebarat-baratan dan kehilangan gender ataupun jati diri.

Amandemen UUD 45 yang dilakukan pada tahun 2002, telah membuat UU Partai Politik otomatis berubah. Sistem multi partai tambah subur.

Namun yang paling mendasar, sistem pengambilan keputusan yang didasarkan pada UUD 45 hasil Amandemen 2002, menjadi sangat liberal. Politik liberal Indonesia, demikian kebablasan.

Ada persepsi yang mengatakan, politik liberal Indonesia melewati batas ambang sistem yang berlaku di Amerika Serikat ataupun India.

Sistem liberal ini, jelas bertentangan dengan Pancasila. Sebab Pancasila memerintahkan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat atau konsesus.

Efek negatif dari sistem liberal ini (UUD 45 Hasil Amanademen 2002), misalnya terlihat dari munculnya kepengurusan kembar atau tandingan di berbagai organisasi. Semua merasa paling berhak, sah dan memiliki dukungan suara terbanyak.

Yang kalah dalam persaingan menuduh pemenang melakukan kecurangan sehingga jika tidak dilakukan pemilihan ulang akan lahir kepengurusan tandingan.

Diakui atau tidak, tetapi persaingan tdiak sehat sudah terjadi dalam kepengurusan beberapa ormas dan partai politik.

Perpecahan itu tidak bisa dilepaskan dari efek demokrasi liberal yang menggunakan UUD 45 hasil amandemen 2002.

Jadi tidak kuatnya sistem demokrasi kita justru karena UUD 45 dan Pancasila itu sendiri.

Atau demokrasi kita semakin tidak sesuai dengan keinginan kita berdemokrasi karena kita tidak menyelesaikan persoalan hakiki yang menganggu hubungan antara UUD 45 dan Pancasila.

Oleh sebab itu, apa yang menjadi kegalauan Ketua DPR-RI Bambang Soesatyo sudah saatnya diberi perhatian secara sungguh-sungguh.

Caranya misalnya dengan mengubah UUD 45 hasil amandemen 2002, kembali ke aslinya. Sehingga semangat persatuan yang didasarkan pada demokrasi Pancasila, demokrasi konsesus, kembali bisa kita nikmati.

Memang mencari pemimpin yang bisa dipilih secara konsesus, susah-susah gampang. Tapi Bambang Soesatyo sendiri, sudah membuktikan. Dia terpilih sebagai Ketua DPR-RI, tidak melalui voting atau pemungutan suara. Ke-10 fraksi yang ada di DPR, secara aklamasi memilihnya sebagai DPR-1.

Sebuah bukti bahwa demokrasi konsesus itu masih kuat di Indonesia.

Di tahun 2009, hal serupa juga terjadi. Ketika Taufiq Kiemas politisi senior PDIP terpilih secara aklamasi menjadi Ketua MPR-RI.

Ironisnya, sekalipun seorang politisi kaliber Bambang Soesatyo diam-diam sudah galau, tetapi tak satupun yang melakukan inisiatif untuk usul perubahan. Kembali ke UUD 45 yang asli.

Bahkan Menteri Dalam Negeri, yang seharusnya merasakan sendiri dampak dari demokrasi keblablasan, sepertinya tidak peduli dengan berjalannya demokrasi Indonesia ke arah yang tidak sesuai dengan kultur bangsa Indonesia.

Ini terbukti dengan lolosnya UU tentang sistem Pemilu yang akan diberlakukan pada 2019. Dimana Pemilihan Presiden dan anggota DPR-RI dilaksanakan pada waktu yang bersamaan.

Bagi saya, lolosnya UU Pemilu yang super liberal dan bertentangan dengan Pancasila itu, perlu dicurigai.

Bisa jadi Mendagrinya yang mengirim RUU itu ke DPR sedang "masuk angin" atau dikalahkan oleh kekuatan pelobi yang ingin menghancurkan NKRI lewat "proxy", tidak terdeteksi.

UU Pemilu yang diberlaukan di tahun 2019 itu, sangat mirip atau meniru sistem Pemilu di Amerika Serikat.

Presiden Joko Widodo sebetulnya perlu menegur bila perlu meminggirkan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo -jika terbukti sebagai Pembantu Presiden, secara sadar dia meloloskan UU yang memberlakukan sistem Pemilu ala Amerika tersebut.

Sebab sistem baru itu, sangat berpotensi mennimbulkan krisis politik dan disintigrasi bangsa. Sistem itu sebuah pertaruhan besar bagi masa depan NKRI.

Siapa yang menjamin, sistem baru itu, bisa mulus dilaksanakan?
Semoga saja kekhawatiran ini tidak berlebihan.[***]

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA