Secara sederhana dapat dikemukakan kriteÂria sebuah Negara Islam ialah manakala kriteria formal sebuah negara terikat dengan syari'ah Islam. Misalnya syarat sebuah negara harus ada wilayah sebagai wadah untuk menggodok segenap warga, harus ada rakyat atau penÂduduk yang akan menjadi warga negara, harus ada hukum dasar atau konstitusi yang disepakÂati di negeri tersebut, dan perlu mendapatkan pengakuan resmi dari negara-negara lain. DapÂat disebut negara Islam jika seluruh komponen negara tadi sudah terikat dengan ketentuan IsÂlam secara formal.
Sedangkan negara islami ialah sebuah negÂara yang tidak mementingkan kriteria formal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang penting semangat dan tujuan umum keÂhidupan berbangsa dan bernegara sesuai denÂgan tujuan umum Syari'ah. Di dalam negeri semua umat bebas menjalankan agama dan kepercayaannya masing-masing tanpa saling mengusik satu sama lain.
Inilah hakekat Lakum dinukum wa al-yadin (Bagimu agamamu dan bagi kami agama kami).
Dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, karya monumental Al-Mawardi menyatakan bahwa Kepala Negara itu sebagai:
Khalifah al-nubuÂwwah fi hirasah al-din wa siyasah al-dunya (Kepala Negara ialah seorang pewaris Nabi unÂtuk menjaga keutuhan agama dan kehidupan dunia). Sikap yang sama juga ditunjukkan Ibn Qayyim al-Jauziyah di dalam
Igatsah Allahfan, yang menganggap urusan keberadaan Kepala Negara dalam suatu Negara tidak masuk wilayah akidah dan ibadah, tetapi masuk di daÂlam wilayah ijtihadi manusia.
Kelompok moderat mengidealkan kiranya seÂgenap warga NKRI tidak terjebak kepada simÂbol dan atribut agama secara formal, tetapi lebih mengacu kepada kenyataan bahwa sekiranya di dalam suatu kondisi ada seorang yang lebih meÂmenuhi syarat jauh melebihi kriteria ideal yang dimiliki calon muslim, maka sebaiknya sang calon ideal secara substansial itu lebih berhak. Namun kendalanya ialah di dalam Fikih Siyasah ada maÂzhab yang berpendapat bahwa Kepala Negara itu representase dari Ulil Amr. Sedangkan fungsi Ulil Amr dalam Fikih Siyasah amat penting karena juga merangkap sebagai Wali Hakim, yang akan berfungsi sebagai wali perkawinan bagi seorang gadis muslimah yang akan kawin tetapi tidak memiliki wali nasab (genealogis). Sementara Fikih Islam mensyaratkan seorang yang akan berfungÂsi sebagai Wali hakim harus muslim, sebagai perÂsyaratan wali dalam Hukum Perkawinan Islam. Jika syarat ini dilanggar maka berakibat fasakh atau rusaknya perkawinan. Perkawinan yang faÂsakh akan berakibat perzinahan jika hubungan tetap dilanjutkan.