leh karena akal begitu penting di dalam keÂhidupan manusia, maka Allah Swt menegaskan pentingnya memelihara, termasuk menghargai pikiran sebagai hasil usaha akal. Melecehkan akal dan pemikiran sama dengan melecehkan dunia kemanusiaan itu sendiri. Itulah sebabnya, Allah Swt mengapa mengharamkan segala seÂsuatu yang bisa merusak akal, termasuk mengÂharamkan makanan dan minuman yang memÂabukkan, sebagaimana ditegaskaan dalam hadis: Kullu muskirin khamrun wa kullu khamÂrin haram, (Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr adalah haram). BuÂkan hanya urusan makanan dan minuman tetapi termasuk perbuatan yang bisa merusak akal, baik secara fisik maupun fungsi akal seperti judi juga dilarang di dalam Al-Qur'an, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: "Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuÂhan dan kebencian di antara kamu, dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat; maka berhentilah kamu (dari mengerjaÂkan pekerjaan itu)".
(Q.S. al-Maidah/5:91). Memelihara akal dan produk-produknya perÂlu dihargai sebagai bagian dari upaya pengÂhargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Kebebasan berfikir bagian dari fungsi akal. Pikiran-pikiran manusia tanpa melihat status dan struktur sosialnya perlu dihargai. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa penghargaan terhadap akal bukan berarti harus memuja akal (rasionalisme), yang seolah-olah akal adalah di atas segala-galanya. Bagaimanapun akal memiliki keterbatasan. Akal bisa didikte oleh berbagai macam kepentingan subjektif. BahÂkan akal tidak pernah berada di dalam posisi puncak objektif karena selalu terpengaruh oleh subjektif sang penggunanya. Dalam hal inilah kita memerlukan kekuatan lain untuk menilai sebera jauh objektivitas temuan akal. Dalam keyakinan umat beragama, khususnya Islam, Allah Swt adalah Zat Yang Maha Objektif. KarÂena itu, wajar bahkan harus kita mengikuti peÂtunjuk-petunjuk-Nya sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur'an. Sehebat apapun akal tentu tidak akan pernah menyamai wahyu. Bahkan keduanya tidak bisa dibandingkan (
uncompaÂrable).
Para pemuja akal selalu berusaha menyingÂkirkan peran wahyu di dalam dirinya dan di daÂlam masyarakat. Jika ada pemikiran yang beruÂsaha meninggalkan wahyu lalu menekankan peran akal secara berlebihan, maka perlu kita berhati-hati, karena itu bukan hanya tidak seÂjalan dengan sila kedua Pancasila, KemanuÂsiaan yang adil dan beradab, tetapi juga melenÂceng dari aqidah Islam. Allahu a'lam.