Pancasila & Nasionalisme Indonesia (74)

Mendalami 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab': Memelihara Akal

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Selasa, 17 Oktober 2017, 09:50 WIB
Mendalami 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab': Memelihara Akal
Nasaruddin Umar/Net
MEMELIHARA akal (al-mu­hafadhah 'ala al-'aql) salah­satu bagian penting dunia kemanusiaan. Akal sebagai salah satu kekuatan yang dianugrahkan Tuhan kepa­da manusia perlu dipelihara dan dihargai hasil usahanya. Yang menjadi faktor pembeda antara manusia dan makhluk lain seperti tumbuh-tumbuhan dan binatang adalah kapasitas akal manusia lebih besar dan lebih kuat. Karena akal itulah maka manusia mengenal budaya. Bahkan dalam per­spektif teologi, khususnya kaum Mu’tazilah, menghargai akal sebagai bagian penting di da­lam menemukan kebenaran. Akal bagi mereka bisa menemukan dan membuktikan kebenaran adanya Tuhan dan hari pembalasan di akhirat. Begitu penting posisi akal sehingga mereka mengklaim wahyu diperlukan untuk kenfirma­si temuan akal. Berbeda dengan teologi Ahlu Sunnah (Asy'ary) menganggap fungsi akal tidak saja merupakan konfirmasi tetapi infor­masi untuk menemukan berbagai kebenaran. Meskipun berbeda pandangan, keduanya men­ganggap keberadaan akal sebagai karunia luar biasa dari Allah Swt.

leh karena akal begitu penting di dalam ke­hidupan manusia, maka Allah Swt menegaskan pentingnya memelihara, termasuk menghargai pikiran sebagai hasil usaha akal. Melecehkan akal dan pemikiran sama dengan melecehkan dunia kemanusiaan itu sendiri. Itulah sebabnya, Allah Swt mengapa mengharamkan segala se­suatu yang bisa merusak akal, termasuk meng­haramkan makanan dan minuman yang mem­abukkan, sebagaimana ditegaskaan dalam hadis: Kullu muskirin khamrun wa kullu kham­rin haram, (Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan semua khamr adalah haram). Bu­kan hanya urusan makanan dan minuman tetapi termasuk perbuatan yang bisa merusak akal, baik secara fisik maupun fungsi akal seperti judi juga dilarang di dalam Al-Qur'an, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: "Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusu­han dan kebencian di antara kamu, dan berjudi itu menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat; maka berhentilah kamu (dari mengerja­kan pekerjaan itu)". (Q.S. al-Maidah/5:91).

Memelihara akal dan produk-produknya per­lu dihargai sebagai bagian dari upaya peng­hargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Kebebasan berfikir bagian dari fungsi akal. Pikiran-pikiran manusia tanpa melihat status dan struktur sosialnya perlu dihargai. Namun perlu ditegaskan di sini bahwa penghargaan terhadap akal bukan berarti harus memuja akal (rasionalisme), yang seolah-olah akal adalah di atas segala-galanya. Bagaimanapun akal memiliki keterbatasan. Akal bisa didikte oleh berbagai macam kepentingan subjektif. Bah­kan akal tidak pernah berada di dalam posisi puncak objektif karena selalu terpengaruh oleh subjektif sang penggunanya. Dalam hal inilah kita memerlukan kekuatan lain untuk menilai sebera jauh objektivitas temuan akal. Dalam keyakinan umat beragama, khususnya Islam, Allah Swt adalah Zat Yang Maha Objektif. Kar­ena itu, wajar bahkan harus kita mengikuti pe­tunjuk-petunjuk-Nya sebagaimana tertuang di dalam Al-Qur'an. Sehebat apapun akal tentu tidak akan pernah menyamai wahyu. Bahkan keduanya tidak bisa dibandingkan (uncompa­rable).

Para pemuja akal selalu berusaha menying­kirkan peran wahyu di dalam dirinya dan di da­lam masyarakat. Jika ada pemikiran yang beru­saha meninggalkan wahyu lalu menekankan peran akal secara berlebihan, maka perlu kita berhati-hati, karena itu bukan hanya tidak se­jalan dengan sila kedua Pancasila, Kemanu­siaan yang adil dan beradab, tetapi juga melen­ceng dari aqidah Islam. Allahu a'lam. 

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA