Sila kedua ini tidak bisa dipisahkan dengan sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Tafsir tentang kemanusiaan yang adil dan beradab ini tidak bisa diambil dari konsep yang bertentangan dengan konsep Ketuhanan YME. Seluruh sila dari Pancasila bahkan semua peraturan perundang-undangan yang lahir di negeri ini, tidak boleh ada yang tidak sejalan apalagi bertentangan dengan Ketuhanan YME. Sila kedua ini mengisyaratkan semua norma yang lahir di negeri ini harus tetap mewujudkan rasa adil kepaÂda semua pihak dan dalam berbagai perspektif, baik umat Islam maupun kepada non-muslim. Salah satu inti ajaran Islam ialah menegakkan keadilan. Nabi Muhammad Saw adalah sosok figur penegak keaÂdilan. Karena sikap keadilannya maka dikagumi oleh kawan dan lawan. Ia selalu menganjurkan sahabatÂnya agar selalu mengedepankan dan menegakkan rasa adil di dalam masyarakat, termasuk kepada penduduk non-mulim, sebagaimana disampaikan dalam firman Allah Swt: Hai orang-orang yang beriÂman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selaÂlu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebenÂcianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Q.S. al-Maidah/5: 8).
Penegakan rasa adil tidak boleh memihak. Nabi mencontohkan penegakan keadilan kepada seÂmua, tanpa membedakan etnik, agama, dan kelas masyarakat. Banyak hadis yang dapt dijadikan sebaÂgai bukti betapa Nabi sangat concern terhadap perÂlakuan adil terhadap penduduk atau etnik tertentu, termasuk perbedaan warna agama, aliran dan keperÂcayaan. Nabi selalu menyerukan pada setiap kali terÂjadi peperangan agar jangan membunuh penduduk sipil yang tak berdosa, mengganggu anak-anak dan janda. Nabi juga tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan warna kulit. Muazzin yang selalu dipercaya Nabi ialah Bilal, seorang muallaf dari AfÂrika yang berkulit hitam.
Selain kemanusiaan yang berkeadilan juga harus yang berkeadaban. Kemanusiaan yang sejati ialah kemanusiaan yang menggabungkan secara utuh antara prinsip keadilan dan prinsip keadaban. DaÂlam satu riwayat diceritakan Anas ibn Malik bahwa ia pernah bersama Umar ibn Khaththab tiba-tida diÂdatangi seorang non-muslim dari Mesir mengadukan halnya:
Wahai Amirul Mukminin, Amr ibn 'Ash perÂnah mengadakan perlombaan pacuan kuda dan aku yang menang, namun tiba-tiba putra Ibn 'Ash bernaÂma Muhammad mengklaim kemenangan itu dengan mengatakan itu kudanya. Aku tetap mempertahankÂan bahwa itu bukan kudanya tetapi kudaku, hingga Muhammad ibn Ash mencambuknya. Setelah itu ia mengatakan ambillah kudamu, aku ini adalah putra yang mulia Amr ibn 'Ash. Menanggapi laporan dari non-muslim Mesir itu, maka Umar ibn Khaththab meÂnyurati Amr ibn 'Ash agar ia bersama putranya, MuÂhammad segara menemuinya. Akhirnya ia bersama putranya datang menemui Umar ibn Khaththab, seÂdangkan Muhammad ibn 'Ash bersembunyi di belaÂkang orang tuanya. Umar mencari orang Mesir yang pernah dianiaya lalu diperintahkan untuk mencamÂbuk Muhammad hingga memar. Umar menyampaiÂkan kepada lelaki non-muslim yang berkebangsaan Mesir itu untuk melaporkan halnya kepadanya tanpa khawatir.