Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Pancasila & Nasionalisme Indonesia (68)

Mendalami 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab': Makna Semantik Bahasa Arab Dalam Pancasila (2)

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 11 Oktober 2017, 09:38 WIB
Mendalami 'Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab': Makna Semantik Bahasa Arab Dalam Pancasila (2)
Nasaruddin Umar/Net
KATA "kemanusiaan" (ma­nusia) berasal dari akar kata anisa-ya’nis berarti menjadi jinak (to be sociable), ramah. Dari akar kata itu lahir kata "kemanusiaan" (insaniyyah/ humanity) dan penjelasannya sebagaimana dalam artikel ter­dahulu. Kata "adil" dari akar kata 'adala-ya'dilu-'adlun be­rarti meluruskan (to adjust), menyamakan (equity). Dalam Bahasa Arab dikenal beberapa istilah tentang adil. Selain kata 'adl juga dikenal kata qisht, yaitu keadilan yang lebih bersifat kualitatif. Sedangkan 'adl keadilan yang lebih bersifat kualitatif. Kata "beradab" dari akar kata aduba-ya’dib berarti sopan, berbudi (to give a banquet), kemudian membentuk kata "berad­ab" (taaddab/civility). Kata "Kemanusiaan yang Adil dan Beradab" maksudnya ialah kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban.

Sila kedua ini tidak bisa dipisahkan dengan sila pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Tafsir tentang kemanusiaan yang adil dan beradab ini tidak bisa diambil dari konsep yang bertentangan dengan konsep Ketuhanan YME. Seluruh sila dari Pancasila bahkan semua peraturan perundang-undangan yang lahir di negeri ini, tidak boleh ada yang tidak sejalan apalagi bertentangan dengan Ketuhanan YME. Sila kedua ini mengisyaratkan semua norma yang lahir di negeri ini harus tetap mewujudkan rasa adil kepa­da semua pihak dan dalam berbagai perspektif, baik umat Islam maupun kepada non-muslim. Salah satu inti ajaran Islam ialah menegakkan keadilan. Nabi Muhammad Saw adalah sosok figur penegak kea­dilan. Karena sikap keadilannya maka dikagumi oleh kawan dan lawan. Ia selalu menganjurkan sahabat­nya agar selalu mengedepankan dan menegakkan rasa adil di dalam masyarakat, termasuk kepada penduduk non-mulim, sebagaimana disampaikan dalam firman Allah Swt: Hai orang-orang yang beri­man, hendaklah kamu jadi orang-orang yang sela­lu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali keben­cianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (Q.S. al-Maidah/5: 8).

Penegakan rasa adil tidak boleh memihak. Nabi mencontohkan penegakan keadilan kepada se­mua, tanpa membedakan etnik, agama, dan kelas masyarakat. Banyak hadis yang dapt dijadikan seba­gai bukti betapa Nabi sangat concern terhadap per­lakuan adil terhadap penduduk atau etnik tertentu, termasuk perbedaan warna agama, aliran dan keper­cayaan. Nabi selalu menyerukan pada setiap kali ter­jadi peperangan agar jangan membunuh penduduk sipil yang tak berdosa, mengganggu anak-anak dan janda. Nabi juga tidak pernah membeda-bedakan orang berdasarkan warna kulit. Muazzin yang selalu dipercaya Nabi ialah Bilal, seorang muallaf dari Af­rika yang berkulit hitam.

Selain kemanusiaan yang berkeadilan juga harus yang berkeadaban. Kemanusiaan yang sejati ialah kemanusiaan yang menggabungkan secara utuh antara prinsip keadilan dan prinsip keadaban. Da­lam satu riwayat diceritakan Anas ibn Malik bahwa ia pernah bersama Umar ibn Khaththab tiba-tida di­datangi seorang non-muslim dari Mesir mengadukan halnya: Wahai Amirul Mukminin, Amr ibn 'Ash per­nah mengadakan perlombaan pacuan kuda dan aku yang menang, namun tiba-tiba putra Ibn 'Ash berna­ma Muhammad mengklaim kemenangan itu dengan mengatakan itu kudanya. Aku tetap mempertahank­an bahwa itu bukan kudanya tetapi kudaku, hingga Muhammad ibn Ash mencambuknya. Setelah itu ia mengatakan ambillah kudamu, aku ini adalah putra yang mulia Amr ibn 'Ash. Menanggapi laporan dari non-muslim Mesir itu, maka Umar ibn Khaththab me­nyurati Amr ibn 'Ash agar ia bersama putranya, Mu­hammad segara menemuinya. Akhirnya ia bersama putranya datang menemui Umar ibn Khaththab, se­dangkan Muhammad ibn 'Ash bersembunyi di bela­kang orang tuanya. Umar mencari orang Mesir yang pernah dianiaya lalu diperintahkan untuk mencam­buk Muhammad hingga memar. Umar menyampai­kan kepada lelaki non-muslim yang berkebangsaan Mesir itu untuk melaporkan halnya kepadanya tanpa khawatir.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA