Sungguh sangat bijak dan patut dicontoh sikap dan kearifan the founding fathers bangsa IndoneÂsia, mengakomodir pluralitas masyarakat di dalam merumuskan dasar-dasar dan ideologi berbangsa dan bernegara, tanpa meninggalkan prinsip-prinsip Islam sebagai agama mayoritas dianut di republik ini. Para penganjur agama sejak masa Proto-IndoÂnesia sampai kemerdekaan berhasil diraih, tokoh-tokoh bangsa ini selalu menekankan arti penting persatuan dan kesatuan bangsanya. Mereka sanÂgat sadar bahwa tanpa persatuan dan kesatuan, tidak mungkin bangsa ini terwujud seperti sekaÂrang ini. Kehadiran bangsa Indonesia harus disyuÂkuri oleh seluruh umat dan warga bangsa. Tidak mungkin kita bisa melakukan fungsi kita sebagai hamba ('abid) dan representasi Tuhan sebagai pemimpin jagat raya (khalifah) tanpa sebuah waÂdah (baca: Negara) yang ideal.
anyak contoh yang sangat memprihatinkan, umat beragama sulit menjalankan ibadahnya yang sangat asasi itu karena negara tempat tinggalnya porak-poranda, mereka sulit mempelajari dan menÂdalami kitab sucinya karena tidak memiliki lembaga pendidikan yang ideal. Mereka tidak bisa bermimpi menunaikan rukun Islam kelima, haji, karena yang mau dimakan saja sulit. Mereka tidak bisa memÂbayar zakat karena dirinya masih termasuk musÂtahiq, sasaran pemberian zakat. Mereka sulit meÂnyelenggarakan salat Jum'at karena mungkin tidak punya masjid, imam atau khatib, atau mungkin karÂena merasa tidak aman keluar rumah.
Fenomena lahirnya ketegangan antar aliran dan antar mazhab menarik untuk dicermati. Ketegangan seperti ini dulu tidak pernah muncul karena terlalu kuat "bungkusan" keindonesiaan yang sulit diterobos. Ketika "bungkusan" keindoÂnesiaan ini menipis, apalagi robek, maka serta-merta kekuatan aliran dan mazhab itu mencuat ke permukaan. Identitas keindonesiaan yang menyemangatinya mulai tergerus oleh uforia reÂformasi. Akibatnya, setiap penganut aliran dan mazhab dalam suatu agama bebas melakuÂkan reidentifikasi diri. Tidak tertutup kemungkiÂnan akan terjadinya Pakistanisasi Ahmadiyah, Iranisasi Syi'ah, Saudi Arabisasi Wahabiah, YaÂmanisasi Sunny, dan seterusnya. Akibatnya lebÂih lanjut, benturan antar satu aliran dan mazhab dengan aliran dan mazhab lain sulit dihindari.
Dalam kondisi demikian, memang sudah sangat diperlukan dua hal.
Pertama, penguatan kembali sendi-sendi keindonesiaan seperti yang pernah berhasil membungkus berbagai ikatan primordial, agama, berikut aliran dan mazhab yang ada di daÂlamnya. Penguatan empat pilar yang selama ini kembali dihembuskan perlu didukung semua pihak dengan tafsiran objektif bahwa keempat pilar ini demi untuk mengutuhkan kembali bangsa tercinta ini di atas landasan yang konstruktif.
Kedua, perÂlunya Undang-Undang Kerukunan antar umat beÂragama atau apapun namanya, yang intinya untuk mengayomi seluruh komunitas bangsa Indonesia tanpa membedakan kelompok mayoritas dan miÂnoritas.