Bangsa Indonesia lebih tepat disebut sebaÂgai negara plural daripada negara heterogen, karena, meskipun terdiri atas berbagai suku, etÂnik, bahasa, dan agama namun tetap merupaÂkan satu kesatuan budaya dan ideologis sebaÂgaimana tercermin di dalam motto "Bhinneka Tunggal Ika", bercerai-berai tetapi tetap satu. Segenap warga bangsa Indonesia bersepakat utnuk menghimpunkan diri di dalam satu waÂdah kesatuan yang disebut dengan Negara KeÂsatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemahaman seperti inilah yang dimaksud di dalam sila ketiga dari Pancasila, "Persatuan Indonesia".
Pluralitas Indonesia dipahami sebagai sebuah konsep kesatuan yang tersusun dari berbagai unsur keberagaman. Keberagamannya diikat oleh sebuah kesatuan yang kokoh, melalui persamaan sejarah sebagai penghuni gugusan bangsa yang pernah dijajah selama berabad-abad oleh bangsa lain, dalam hal ini Belanda dan Jepang. Kehadiran kolonialisme, setuju atau tidak, telah memberikan andil yang penting untuk menyatukan bangsa Indonesia, sebagai sesama warga bangsa yang mengalami nasib penderiÂtaan yang sama. Di samping persamaan sejaÂrah, pluralitas Indonesia juga diikat oleh kondisi objektif bangsa Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang menjunjung tinggi azas kebersaÂmaan, baik kondisi objektif maupun kondisi subÂjektif. Kesatuan kebangsaan ini juga biasa diistiÂlahkan dengan nasionalisme Indonesia.
Konsep Nasionalisme Indonesia adalah naÂsionalisme terbuka, sebagaimana diuraikan daÂlam artikel terdahulu. Di dalam UUD 1945 yang di dalamnya mengatur hak-hak azasi manusia, seperti hak berserikat, hak beragama, hak berÂbudaya dan hak budaya itu sendiri, mengakui hak-hak internasional dan hak-hak kemanusiaan lainnya. Nasionalisme Indonesia bukanlah naÂsionalisme tertutup dalam arti mengandalkan dan menonjolkan unsur kekuatan dalam (
inner werkende gaist) seperti konsep nasionalisme Hegel yang kemudian diperkenalkan oleh Karl Marx. Adapa yang dimaksud "kekuatan dalam" menurut Hegel digunakan sebagai alat pemÂbentur dengan unsur-unsur lain yang berasal dari luar dirinya. Misalnya, menolak kehadiran budaya dan aliran asing yang berbeda dengan kekuatan dalam tadi. Dialektika nasionalisme Hegel dapat dijadikan contoh nasionalisme tertuÂtup, karena menganggap kekuatan dari luar seÂbagai ancaman dan memperlakukannya sebagai "imigran asing" dan "imigran gelap" yang harus dimata-matai. Akibanya ketegangan konseptual selalu mewarnai ruang publik. Rezim politik parÂuh pertama Orde Baru yang membentuk berbaÂgai perangkap pengaman nasionalisme, seperti Kopkamtib, Bakin, dan semacamnya.
Pemaknaan 'Persatuan Indonesia' dalam sila ketiga Pancasila tidak bisa difahami secara ekÂlusif sebagai kekuatan tertutup yang memproÂteksi setiap nilai-nilai yang bersumber dari luar bangsa Indonesia. Nilai-nilai luar yang positif, baik nilai-nilai agama maupun budaya, asal tidak bertentangan dengan perinsip dasar nilai-nilai luhur Pancasila dapat saja diakomodasi dan diintegrasikan ke dalam nilai-nilai peradaban bangsa Indonesia.