Nasionalisme yang konstruktif ialah nasionÂalisme yang dirumuskan sendiri oleh bangsa yang bersangkutan dengan mengintrodusir dan mengeksploitasi nilai-nilai kearifan lokalnya masing-masing. Nasionalisme yang diimpor dari bangsa lain atau produk rasional filosof bangsa lain sangat rawan dan sensitif. Tidak saja karÂena tidak senapas dengan akar budaya bangÂsa tetapi berpotensi memecah belah keutuhan bangsa sendiri.
Pengalaman di masa lampau, sebuah rezim berusaha untuk mengadopsi konsep nasionalÂisme berasal dari luar, akibatnya menimbulkan ketegangan konseptual berkepanjangan dan cenderung mendistorsi sejarah dan realitas keÂhidupan masyarakat. Kita masih ingat sekelomÂpok elite pemikir bangsa berusaha menerapkan konsep nasionalisme, yang sadar atau tidak saÂdar, mirip dengan filsafat nasionalisme Hegel (1776-1831).
Filsafat Hegel selalu mencari konsep primer (primary concept) kemudian dilakukan afirmasi, negasi, atau mengumpulkan keduanya (sinteÂsa). Pola dialektik berpikir Hegel selalu diwarnai dengan kontradiksi dan ujungnya adalah konflik. Hegel selalu dekat dengan prinsip negasi (prinÂciple of negation) dan sulit menerima perinsip non-kontradiksi (principle of noncontradiction), karena ia seperti tidak percaya dengan principle of identity. Bagi Hegel, negara adalah sebuah tahap dari perkembangan jiwa mutlak. Tujuan negara ialah untuk menjaga hak dan properti masyarakat. Negara terkesan sangat dikultusÂkan oleh Hegel. Negara baginya adalah tujuan, bukan cara, sarana, atau insitusi dalam upaya mencapai tujuan. Negara adalah penjelmaan dari jiwa mutlak, agak terpengaruh dengan panÂdangan klasik dan mitologi Yunani mengangÂgap kepala negara adalah titisan Dewa, karena itu negara pun menjadi sakral. Negara harus diÂhormati dan disakralkan karena di dalam negara itulah "Tuhan" (Raja) akan bertahta dan berkuaÂsa. Siapapun yang tidak sejalan dengan prinÂsip negara harus disingkirkan. Negara memiliki "kekuatan dalam" (der inner werkende Krafte), semacam roda-roda gila yang selalu bersiap-siaga menggilas para penentangnya.
Pengalaman di masa lalu, 'Nasionalisme InÂdonesia' juga pernah ditafsirkan mirip dengan pemikiran Hegel. Atas nama negara seluruh kelompok yang berbeda dengan "negara" harÂus berurusan dengan Kopkamtib. Beredar beÂberapa akronim yang yang sangat menakutkan di masa lalu yang sengaja diciptakan untuk meÂnakut-nakuti kelompok yang dinilai tidak segaris dengan kemauan negara. Ada istilah "KomanÂdo Jihad" untuk menjerat kelompok Islam garis keras, ada istilah "Kelompok Separatis" untuk menjerat mereka yang mencoba berbeda denÂgan The Inner Cyrcle di Jakarta. Ada istilah "keÂbangkitan PKI" yang diadreskan kepada mereka yang berusaha menyoroti sistem ekonomi pasar bebas yang sedang dikembangkan pemerintah saat itu. Dan banyak lagi akronim menakutkan lainnya diciptakan atas nama negara. Tentu buÂkan 'Nasionalisme Indonesia' semacam ini yang dibutuhkan negeri ini.