Pancasila & Nasionalisme Indonesia (52)

Mendalami Persatuan Indonesia: Keberadaan Syari'ah Islam

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 25 September 2017, 08:23 WIB
Mendalami Persatuan Indonesia: Keberadaan Syari'ah Islam
Nasaruddin Umar/Net
INDONESIA dikenal seba­gai negara muslim terbe­sar, bukan hanya dari segi jumlah tetapi juga terbesar di dalam menyikapi situasi. Kebesaran satu kaum bu­kan hanya terletak pada ke­mampuan mereka mener­bitkan sebuah piagam perjanjian tetapi yang tak kalah besarnya ialah kemampuan untuk secara sepihak membatalkan piagam atau perjanji­an yang dengan susah payah telah dibuatnya dengan pihak-pihak terkait. Di sinilah kebesa­ran umat Islam Indonesia, bukan hanya mampu melahirkan Piagam Jakarta tetapi juga mam­pu meninggalkannya secara sepihak demi un­tuk menggapai kesatuan bangsa. Para ulama setuju langkah itu karena masih tetap sejalan dengan tujuan esensi Syari'ah (maqashid al-syari'ah).

Bisa saja kelompok muslim yang terlibat di dalam Piagam Jakarta mempertahankan Piag­am Persepakatan ini tetapi demi persatuan dan keutuhan bangsa, maka kata: "…dengan kewa­jiban menjalankan Syari'at Islam bagi peme­luknya" dicoret dan jadilah sekarang ini sebagai negara Pancasila. Siapa yang bisa menghen­tikan jika umat Islam di Indonesia tetap ber­sikeras mempertahankan Piagam Jakarta? Mereka terlibat dalam perumusan bersama kel­ompok lain yang berbeda latar belakang. Na­mun kesadaran nasionalisme kelompok umat Islam yang terlibat di dalam perumusan Piagam Jakarta, bersedia untuk mencoret sendiri kata-kata yang dikeberatani oleh sekelompok orang yang memperatasnamakan Indonesia bagian timur yang keberatan dengan redaksi tersebut.

Kebesaran lain yang dimiliki para The Found­ing Fathers dari umat Islam ialah tidak adanya sedikitpun rasa penyesalan yang ditunjukkan dengan perubahan itu. Bahkan mereka seperti­nya bangga dengan jiwa besar yang dimilikinya untuk mengakomodir "suara dari timur" terse­but. Belakangan dari suara umat Islam, khusus­nya para ulama NU, yang pertama kali meneri­akkan "NKRI sebagai bentuk final dari bangsa Indonesia". Ini artinya konsep dasar bernegara Indonesia sudah selesai. Tidak akan ada lagi wacana baru untuk mengembalikan Piagam Jakarta atau pikiran-pikiran lain selain Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalaupun ada suara-suara kecil yang menggagas bentuk dan sistem lain di luar konsep NKRI itu adalah haknya sebagai warga Negara Indonesia yang dijamin negara.

Di dalam negara Pancasila siapapun be­bas berpikir untuk apapun, akan tetapi jika di­manifestasikan ke dalam sikap dan tingkah laku maka yang bersangkutan harus mampu mempertanggungjawabkan pendiriannya. Jika kemudian terbukti ada aspek pelanggaran hu­kum atau kode etik yang dilanggar maka ber­sedialah mempertanggung jawabnya. Jika ada warga negara berkeinginan untuk mengubah bentuk dan dasar negara Republik Indonesia, silahkan saja tetapi harus melalui prosudur dan koridor yang disiapkan oleh Undang-Undang.

Pelajaran besar yang bisa kita peroleh di sekitar lahirnya Piagam Jakarta berikut peruba­han yang terdapat di dalamnya adalah pelaja­ran besar bagi generasi muda Indonesia. Pe­rubahan sebuah Piagam Nasional tidak serta merta melemahkan bangsa tetapi sebaliknya lebih memperkuat bangsa. Disepakatinya NKRI sebagai bentuk final bangsa Indonesia men­gandung arti kesediaan berbagai pihak yang berbeda, entah itu perbedaan gender, etnik, agama, wilayah geografis, untuk saling men­gakui satu sama lain sebagai sama-sama war­ga bangsa yang wajib saling menghormati satu sama lain. Para ulama yang mengambil kepu­tusan saat itu betul-betul memperlihatkan keari­fannya sebagai tokoh agama sekaligus sebagai tokoh bangsa. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA