Upaya menyatukan yang berbeda seringkali terkÂendala problem HAMdan hak-hak budaya (cultural ringht). Memaksakan persatuan pelbagai hal yang berbeda selain bukan lagi zamannya juga pasti akan mengakibatnya banyak risiko politik yang suÂlit diprediksi. Termasuk di antaranya ancaman kebeÂbasan berpendapat dan berekspresi yang dijamin di dalam undang-undang. Dalam masa Orde Baru pernah diupayakan untuk "memaksakan" persatuan dengan menjadikan Pancasila sebagai tameng. Kita masih ingat jargon-jargon yang mengerikan pada saat itu, seperti isu Komando Jihad dan pendukung NII. Pemerintah Orde Baru saat itu juga membentuk beberapa lembaga yang memiliki power yang amat besar, sepert Kopkamtib yang bisa menahan orang tanpa melalui proses pengadilan. Bahkan kelompok Petrus (Penembak Misterius) yang bisa melenyapÂkan nyawa seseorang. Penganut ajaran Islam keras bisa dianggap pengikut anggota Komando Jihad. Atas nama Persatuan Indonesia, pemerintahan diÂjalankan dengan "tangan besi". Nasionalisme digamÂbarkan sebagai kekuatan "roda-roda gila" yang bisa menggilas orang atau lembaga yang dililai tidak seÂjalan dengan ideologi Pancasila. Celakanya, PanÂcasila didoktrinkan secara sepihak oleh pemerintah dengan berbagai cara, termasuk keharusan mengiÂkuti penataran P4. Penciptaan ‘Persatuan Indonesia’ melalui cara-cara seperti ini jelas sangat merugikan kekayaan kultural bangsa. Penguatan Jakarta (cenÂtral power) sudah tidak terbendung. Akibatnya keariÂfan lokal menjadi lumpuh. Lebih lanjut akibatnya, setÂelah central power melemah, ditandai jatuhnya rezim Orde Baru, maka konflik horizontal tidak bisa lagi diselesaikan dengan baik, karena institusi lokal suÂdah dilemahkan oleh struktur pemerintah pusat yang menggurita ke bawah sampai ke tingkat RT/RW.
Jika pilihan kita menciptakan suasana di mana masyarakat terbiasa hidup di tengah perbedaan, atau menganggap perbedaan sebagai sebuah keÂniscayaan, maka selain lebih sesuai dengan perasÂaan keadilan juga lebih sejalan dengan semangat demokrasi yang kini sedang mengglobal. PersatuÂan dan kesatuan bangsa ternyata tidak mesti harus melalui pemaksaan dari atas, tetapi cukup dengan memberikan rambu-rambu persepakatan. PenÂciptaan generasi yang terbuka dan kritis ternyata daÂpat melahirkan kualitas bangsa yang lebih produktif. Yang penting bagaimana menghadirkan sistem huÂkum ideal dan dengan aparat hukum yang jujur dan berani menegakkan keadilan. Sebetulnya kondisi kita sekarang sudah jauh lebih baik, meskipun beberapa segi masih perlu penyempurnaan. Yang terjadi sekaÂrang adalah fenomena pembengkakan kualitas umat dan warga bangsa sebagai buah dari kepemihakan UU yang mewajibkan anggaran pendidikan 20 persÂen dari APBN. Lembaga-lembaga pendidikan dari berbagai tingkatan sudah jauh lebih baik dari masa lalu. Semakin tinggi tingkat pendidikan suatu bangsa semakin kritis pula warga bangsa tersebut. Namun kekritisan mereka tidak mesti diartikan berusaha unÂtuk merongrong negara.
Konsep Persatuan Indonesia yang dimaksud oleh para the founding fathers kita sesungguhnya lebih berat kepada yang kedua, yakni menciptaÂkan kondisi di mana masyarakat menganggap perÂbedaan itu wajar dan dengan demikian tidak perÂlu mempersoalkan perbedaan yang lahir di dalam masyarakat. Sejarah membuktikan begitu mudahÂnya para founding fathers kita menerima perubaÂhan Piagam Jakarta ke Pancasila mengisyaratkan fleksibilitas makna Persatuan Indonesia. Mereka sepertinya sangat yakin terhadap warganya bahÂwa perbedaan redaksional dengan substansi yang sama tidak perlu dikhawatirkan. Terlalu besar keÂcurigaan terhadap masyarakat justru itu yang akan memicu instabilitas. Namun sebaliknya, melakuÂkan pembiaran terhadap anasir yang mengancam sendi-sendi NKRI tidak boleh terjadi.