Di samping itu, kelompok Aliran Kepercayaan skala ajarannya tidak seluas dengan kelompok agama, walaupun ini mungkin juga masih perlu perdebatan. Para penganut Aliran Kepercayaan juga sering kali dijumpai tidak merasa perlu memÂperkenalkan atau memperjuangkan sistem keperÂcayaannya sebagai sebuah agama, karena bagi mereka tidak perlu pengakuan orang lain bahkan oleh negara, karena yang penting bagi mereka menjalani kehidupannya di bawah tuntunan Aliran Kepercayaan yang dianut, jauh lebih penting.
Yang menjadi masalah sekarang ialah regulaÂsi negara, sebagaimana diatur di dalam UU No. 23 tahun 2000 tentang Administrasi KependuduÂkan, yang di dalamnya hanya memberikan penÂgakuan kepada enam agama, yang kebetulan sudah mendapatkan pengakuan luas dari berbaÂgai belahan dunia, seperti Agama Hindu, Budha, Protestaan, Katolik, Islam, dan Khonghucu. ImpÂlikasi UU tersebut ialah kolom agama di dalam Akta Kelahiran (AK), Kartu Keluarga (KK), dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka yang beÂragama lokal atau beragama universal tetapi beÂlum diakui seperti Agama Bahai, pernah besar di Merapu NTT, Slam Sunda Wiwitan di Banten dan Jawa Barat, Kaharingan Dayak KalimanÂtan, Susila Budhi Dhaema (Subud) di Keung Jati Grobogan, Aliran Among Tani Majapahit di Jawa Tengah, Brayat Agung Majapahit di Jawa, KejaÂwen Ajaran Ki Agung Suryomenraram di JogyaÂkarta, Sidulur Sikep di Jawa, Faham Ali Taitang Zikrullah di Sulawesi Tengah, Faham KesepuÂhan Ciptagelar, Agama Bahai, Islam Wetu Telu di Lombok, Aliran Kebatinan Perjalanan di Jawa BaÂrat, Buhun Orang Karanggang di Jawa Barat, dan Agama To Lotang di Sidrap, Sulawesi Selatan. Kelompok agama dan kepercayaan ini masih serÂing disepelekan oleh negara karena eksistensi inÂstitusinya belum terakomodir di dalam peraturan dan perundang-undangan sebagaimana enam kelompok agama lainnya, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu.
Atas dasar keadilan, kelompok agama di luar enam agama di atas, termasuk para pengÂhayat kepercayaan atau penganut Aliran KeperÂcayaan, meminta agar diri mereka juga diakui keberadaannya karena sistem kepercayaan merÂeka juga mengakui adanya konsep Ketuhanan YME. Yang pasti mereka merasa perlu juga diaÂkomodir karena mereka juga bagian dari Warga Negara Indonesia yang mempunyai hak yang sama dengan warga lainnya. Dilema ini memang harus ada jalan keluar yang harus dilakukan peÂmerintah. Namun pemerintah juga tetap harus hati-hati agar kebijakannya tidak dirasakan seÂbagai blunder bagi kelompok agama yang sudah eksis. Mungkin dalam waktu pendek perlu dipikirÂkan keberadaan kelompok Penghayat Aliran KeÂpercayaan dalam kaitan penjabaran sila pertama, Ketuhanan YME.