Kedua agama ini sering digambarkan seolah-olah memasuki ruang hampa budaya sehingga mereka dianggap mengisi kekosongan nilai-nilai moral-spiritual. Justru sebaliknya, para raja lokal serta merta memeluk agama Hindu-Budha keÂmudian Islam kerena dianggapnya bagian dari kelanjutan dari sistem religi yang dipertahankan secara turun temurun. Ini juga menunjukkan, tolÂeransi beragama dan berkepercayaan di IndoneÂsia tumbuh semenjak dahulu kala.
Ptolemaus, sang penemu banyak negeri, menggambarkan adanya kepulauan yang disebut
KherÂsonesos (Yunani: Pulau emas) dan sejarah Cina yang disebutnya dengan Ye-po-ti yang di antaranya diperkenalkan dengan Jabadiou/Jawa. Di zaman ini sudah dikenal wilayah Jawadwipa, SwarnadwiÂpa, Bugis, dan lain-lain. Masyarakat yang menghuÂni kepulauan ini sudah mengenal sistem religi dan mempercayai adanya kekuatan gaib dan sistem penyembahan terhadap kekuatan gaib tersebut. Ini membuktikan bahwa kemudahan masyarakat bangsa Indonesia memeluk agama yang baru karÂena mereka sudah memiliki pengalaman dan tradiÂsi batin. Jika sistem religi yang baru masuk sejalan dengan sistem religi mereka maka tidak perlu merÂeka persulit, apalagi dimusuihi. Sebagai konsekwÂensi masyarakat yang berkultur maritim, yang ciri khasnya terbuka, maka kepercayaan diri mereka sangat tinggi untuk mengakomodir nilai-nilai baru yang relevan dengan tradisinya.
Analisis sistem budaya juga menggambarkan masa ini sebagai masa akulturasi yang amat pentÂing, dimana budaya dan sistem religi luar bisa beÂradaptasi dalam konteks budaya kepulauan NuÂsantara. Di dalamnya ada pengaruh Hindu, Arab (Islam), Cina, Portugis, dan Inggris. Sistem budaya, sistem religi, sistem ekonomi, dan sistem teknologi sudah banyak ditemukan di pusat-pusat kerajaan Nusantara sejak dahulu kala. Kesemuanya itu adaÂlah wajar bagi warga bangsa Nusantara.
Agama Islam sendiri tidak mempersoalkan keÂhadiran agama dan kepercayaan dalam suatu masyarakat. Justru Islam menegaskan sebaÂgaimana disebutkan dalam hadis: "SesungguhÂnya aku diutus untuk menyempurnakan (li utamÂmim) akhlak mulia". Islam memberikan apresiasi agama dan peradaban luhur masa lampau karÂena itu artinya meringankan beban Islam sebaÂgai agama yang menganjurkan religiusitas dan peradaban luhur. Islam merelakan diri "dinusanÂtarakan" sebagai konsekwensi pengislaman NuÂsantara. Dalam tradisi NU dikenal sebuah istilah:
Al-muhafadhah 'ala al-qadin al-shalih wa al-akhÂdz bi al-jadid al-ashlah' (melestarikaan nilai-nilai luhur yang masih relevan dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik). Atas dasar logika ini warga Nahdliyin seringkali tampil sebagai tokoh pelindung kelompok minoritas. Kita masih ingat Gus Dur dan sejumlah tokoh NU lainnya, seringÂkali mengeluarkan istilah yang boleh jadi diangÂgap sangat kontroversi bagi kelompok puritan (kelompok yang selalu mempertahankan orisinalÂitas dan kemurnian ajaran Islam).
Konsep Ketuhanan Yang Maha Esa bagi kelÂompok penganut agama local dan aliran keperÂcayaan sesungguhnya sudah tidak ada masalah lagi. Masalah akan muncul jika muncul keinginan untuk memformulasikan konsep Ketuhanan YME ke dalam konteks yang lebih khusus, yakni kelomÂpok yang akan menyeret pengertian Ketuhanan YME ke dalam pemahaman yang lebih sempit, sesuai dengan formulasi keyakinan agama yang dianutnya.