Pancasila & Nasionalisme Indonesia (41)

Mendalami Ketuhanan YME: Perspektif Agama Buddha

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Senin, 11 September 2017, 09:53 WIB
Mendalami Ketuhanan YME: Perspektif Agama Buddha
Nasaruddin Umar/Net
KONSEP Ketuhanan YME dalam agama Buddha ber­beda dengan konsep ketu­hanan agama-agama lain, khususnya agama-agama samawi (Abrahamic Reli­gions). Dalam kitab Sutta Pi­taka, Udana VIII dijelaskan bahwa Ketuhanan YME da­lam bahasa Pali adalah At­thi Ajatam Abhutam Akatam Asamkhatam, sub­yek yang dipersepsikan sebagai Tuhan sesuatu yang tidak dilahirkan, tidak dijelmakan, tidak diciptakan, tetapi keberadaanya maha mutlak. Kemahaesaannya tanpa "aku" (anatta), tidak dapat dipersonifikasikan, dan tidak dapat digam­barkan dalam bentuk apa pun. Keberadaannya tidak berkondisi (asankhata). Berbeda dengan makhluk seperti manusia berkondisi (sankha­ta). Manusia yang berusaha untuk mencapai puncak kebebasan dari lingkaran hidup yang penuh kesesnaraan (samsara), harus aktif menjalankan meditasi, yaitu perenungan suci atau kontemplasi terhadap hakekat alam se­mesta. Dalam kitab suci Tipitaka dijelaskan bu­kan hanya konsep ketuhanannya yang berbeda tetapi juga konsep asal-usul kejadian alam se­mesta, manusia, dan kiamat, dan keselamatan atau pembebasan diri manusia.

Konsep ketuhanan dalam agama Buddha leb­ih bersifat non-teistik, yakni tidak menekankan keberadaan Tuhan sang pencipta atau bergan­tung kepada-Nya, tetapi bagaimana mengejah­wentahkan sifat-sifat buddhisme. Buddha Gau­tama juga tidak dilukiskan sebagai Tuhan tetapi sebagai pembimbing atau guru yang menun­jukkan jalan menuju nirwana. Buddha Gautama sendiri jarang menyebut kata Tuhan tetapi lebih menekankan pentingnya kesucian prilaku di da­lam menjalani kehidupan. Mungkin dari segi ini kalangan ahli perbandingan agama ada yang melihat agama Buddha lebih menonjol sebagai ajaran moral belaka. Bahkan sejumlah khutbah Buddha Gautama cenderung penyembahan kepada banyak Tuhan atau dewa-dewi membe­bani kebebasan manusia, meskipun pada sisi lain ia masih memberikan pengakuan terhadap Brahma sebagai Tuhan. Buddha Gautama per­nah menyatakan bahwa biarkan Tuhan menjadi pencipta segala sesuatu, tetapi manusia harus memelihara kesucian ciptaan Tuhan. Kesem­purnaan kesucian itulah inti ketuhanan dan ke­sucian itu harus ada pada setiap manusia.

Bagi agama Buddha, tujuan akhir hidup ma­nusia adalah mencapai kebuddhaan (anuttara samyak sambodhi) atau pencerahan sejati di­mana batin manusia tidak perlu lagi mengalami proses tumimbal lahir. Manusia tidak memerlu­kan bantuan atau pertolongan pihak lain, ter­masuk dewa-dewi. Jika manusia ingin selamat, maka satu-satunya jalan ialah menjelmakan si­fat dan sikap kebuddhaan di dalam dirinya. Na­mun demikian, Buddha sendiri bukan Tuhan dan tidak pernah diklaim sebagai Tuhan dalam pengikut agama Buddha.

Agama Buddha tidak terlalu menekankan peran Tuhan sebagaimana halnya agama-agama besar lainnya. Agama Buddha lebih menekankan "pragamatisme" dalam arti men­gutamakan tindakan-tindakan cepat dan tepat yang lebih diperlukan di dalam menyelamatkan hidup seseorang yang tengah mengalami prob­lem. Karena itu, budi pekerti selalu menjadi hal yang amat substansial dalam agama Buddha. Kolaborasinya dengan agama-agama lain lebih gampang karena agama Buddha tidak memiliki sistem birokrasi spiritual yang ribet sebagaima­na halnya agama-agama lain.

Bagi umat Buddha di Indonesia tidak per­nah ada masalah dengan soal redaksi Pan­casila, khususnya keberadaan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Meskipun agama Buddha tidak banyak menyinggung Tuhan da­lam pengembangan misi ajarannya, tetapi tak seorang pun warga penganut agama Buddha mengingkari keberadaan Tuhan. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA