Penyatuan antara keduanya justru itulah yang hakekat tauhid. Dengan menyatakan kesÂerupaan (
tasyabih/similarity) untuk-Nya maka sesungguhnya kita menyatakan keesaan-Nya. Sebaliknya dengan menyatakan perbedaan (
tanzih/distinctiveness) maka kita mengingÂkari keesaan-Nya dan itu musyrik. Kebalikan pendapat mutakallimin, menyerupakan Tuhan dengan makhluknya adalah musyrik.
Yang pasti ialah tidak ada yang mengenal lebih jelas siapa Tuhan selain diri-Nya. Kita mengenal seolah dua pengertian Tuhan, yaitu Tuhan hakiki dan Tuhan dalam konsep manuÂsia. Tuhan hakiki kita tidak bisa mendefinisikanÂnya. Tuhan yang kita bicarakan sekarang Tuhan dalam konsep manusia. Realitas Tuhan jauh di atas realitas manusia. Zat Yang Maha Mutlak tidak bisa ditampung oleh zat yang relatif. BuÂkan Tuhan kikir tidak mau memperkenalkan diÂri-Nya kepada kita tetapi seperti kata JalaludÂdin Rumi: "Apalah arti sebuah cangkir untuk menampung samudra". Memori kita terlalu kecil untuk meng-attach Zat Yang Maha Besar. Kita tidak mungkin mengenal Tuhan dalam diri-Nya sendiri, tetapi hanya sejauh Tuhan mengungÂkapkan diri-Nya melalui alam raya, yang dikaÂtaka-Nya sebagai ayat yang harus dibaca bagi mereka yang ingin mengenali diri-Nya.
Isyarat lain seperti dikatakan Rasulullah, "barangsiapa yang mengenali dirinya maka ia akan mengenali Tuhannya" (
man 'arafa nafsaÂhu paqad 'arafa Rabbahu). Membaca atau meÂnyadari diri dengan penuh penghayatan maka kita berpotensi lebih mengenal Diri-nya. Ini seÂsuai dengan ayat Al-Qur'an: "Kami akan memÂperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri". (Q.S. Fushshilat/41:53).
Dari berbagai pandangan tentang konsep Ketuhanan yang Maha Esa yang sedemikian kompleks, maka memang tidak selayaknya kita dengan begitu gampang saling menafikan, salÂing memusyrikkan, atau saling mengkafirkan satu sama lain. Kehadiran agama yang bermacam-macam yang sama-sama menyembah Tuhan Yang Maha Kuasa boleh jadi sesungguhnya lebih banyak dibedakan oleh persoalan semantic dan hermeneutic. Jika dirunut dan dianalisis secara mendalam maka boleh jadi hubungan antara satu agama dengan agama lain akan semakin dekat dan lebih dekat lagi. Allah Swt pernah menginÂgatkan kita: Ta'alau ila kalimatin sawa' (Mari berÂpegang kepada kalimat yang sama (
equitable proposition) (Q.S. Ali 'Imran/3:64). Jika kita seÂmua berpegang kepada ayat ini banyak persoÂalan bisa diselesaikan dengan mudah di negeri tercinta ini. Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam konteks Pancasil bisa menerima semua konsep yang dibicarakan di atas. Mungkin para perumusÂnya tidak pernah membayangkan bahwa redaksi yang irumuskannya itu adalah sebuah rumusan yang amat fleksibel dan sangat sesuai dengan kondisi obyektif masyarakat Indonesia yang pluÂral dan heterogen.