Jauhar dan 'aradh menurut para filsuf meruÂpakan dua struktur entitas yang berbeda walauÂpun keduanya sulit untuk dipisahkan. Sedangkan menurut kalangan sufi 'aradh dan jauhar bukanlah merupakan dua entits yang berbeda tetapi yang satu merupakan hakikat dan lainnya merupakan manifestasi, seperti Allah sebagai hakekat wujud (al-Haqiqah al-Wujud) kemudian memunculkan manifestasi (
madhhar). Antara Hakekat Wujud dengan wujud-wujud (
a'yan) yang mewujudkan diri-Nya, walaupun keduanya berbeda tetapi tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ibaratnya antara laut dan ombaknya, api dan panasnya, matahari dan cahayanya; keduanya bisa dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Dari segi ini seorang sufi pernah menyatakan: "Tak seorangpun menegaskan keesaan Zat MaÂhaesa, sebab semua orang yang menegaska-Nya sesungguhnya mengingkari-Nya. Tauhid orang yang melukiskan-Nya hanyalah pinjaman, tak diÂterima oleh zat Mahaesa. Tauhid atas diri-Nya adalah tauhid-Nya. Orang yang melukiskan-Nya sungguh telah sesat".
Secara sufistik memang tidak ada artinya kita bicara tentang apapun dan siapapun tanpa berÂbicara dengan Tuhan, karena segala sesuatu adalah manifestasi atau tajalli-Nya. Ibaratnya kita berbicara tentang bilangan, tidak ada artinya kita bicara angka 10, 1000, sejuta, atu triliun , dan setÂerusnya, tanpa bicara angka satu. Bukankan satu triliun itu kelipatan satu triliun dari angka satu.
Dalam pandangan tasawuf, wujud keberadaan Tuhan tidak bisa dibayangkan berada di antara wujud-wujud makhluk-Nya, yang berdiri sendiri, dan samasekali terpisah dengan para makhluk- Nya. Di mana ada wujud dan maujud di situ ada Dia. Namun tidak bisa dikatakan secara Langsung bahwa pohon adalah Tuhan, Matahari, adalah TuÂhan, dst. Keberadaan wujud-wujud yang ada hanÂya sebatas tajalli-Nya. Ibaratnya antara sepotong benda di depan cermin. Benda di depan cermin sama persis dengan bayangan yang ada di cerÂmin. Namun substansi kedua benda itu berbeda. Gambaran dalam cermin itu tajalli benda yang ada di depannya. Akan tetapi, tanpa benda di deÂpan cermin tidak mungkin ada bayangan cermin. Sang Khaliq ibarat benda di depan cermin dan sang makhluk ibarat bayangan di dalam cermin. Semakin bertambah banyak cermin semakin berÂtambah banyak pula bayangan itu, namun tidak mengurangi sedikit pun benda di depannya. MeÂkanisme inilah yang disebut tajalli, yakni pengÂgandaan manifestasi tanpa mengurangi subÂstansi. Jika penggandaan menghabiskan diri sang substansi maka itu disebut proses tajafi.
Pernyataan tersebut di atas tidak bisa disebut penyatuan wujud antara Tuhan dengan makhluk (
al-wahdatul al-wujud) atau penyatuan dua entitas berbeda tetapi satu dalam penyaksian (
al-wahÂdah al-syhud). Dalam pandangan ini, sesungguhÂnya tidak pernah terjadi wujud berganda (
the real many). Yang ada sesungguhnya adalah ketungÂgalan wujud (
the real one). Yang kelihatan banyak sesungguhnya hanyalah wujud-wujud kamuflase (
al-mumkin al-wujud). Benda dan bayangannya di cermin kelihatannya dua atau lebih entitas tetapi sesungguhnya tetap satu, yaitu pemilik wujud mutlak (
al-muthlaq al-wujud). Dari segi inilah para sufi sangat berhati-hati memusyrikkan seseorang, karena mereka memahami apa dan siapa sesungÂguhnya yang selama ini dipersepsikan seabgai makhluk.