Pemahaman keagamaan yang berkeindoneÂsiaan dan keindonesiaan yang berkeagamaan harÂus diwaspadai jangan sampai tergerus oleh suaÂsan reformasi yang melampaui batas (kebablasan). Reformasi harus diartikan dan secara positif untuk pengembangan NKRI ke arah yang lebih baik dan berdaya saing. Manajmen transisi nilai-nilai keaÂgamaan dalam tulisan ini diartikan sebagai prosÂes akulturasi dan enkulturasi nilai-nilai keagamaan yang pada umumnya bersumber dari luar NusanÂtara dengan nilai-nilai kearifan lokal. Satu sisi tetap melestarikan warisan luhur budaya nusantara tetapi pada sisi lain nilai-nilai keagamaan tetap dapat di akomodir di dalamnya. Di sinilah Pancasila hadir seÂbagai melting pot antara nilai-nilai kearifan lokal buÂdaya dan nilai-nilai universal keagamaan. Pancasila harus melestarikan nilai-nilai nusantara yang diwaÂrisi dari zaman pra sejarah, proto-Indonesia, dan daÂlam fase Indonesia awal. Akan tetapi Pancasila juga harus membuka ruang untuk mengadopsi nilai-nilai keagamaan yang bersifat universal. Pola dialektika budaya dalam lintasan sejarah panjang bangsa InÂdonesia perlu dipertahankan di dalam melintasi peÂrubahan zamannya. Persandingan antara nilai-nilai sakral keagamaan dan nilai-nilai provan budaya bangsa merupakan watak dan karakter NKRI.
Memanaj nilai-nilai keagamaan paralel dengan nilai-nilai kearifan lokal memerlukan seni tersendiri. Tidak mudah memaralelkan nilai-nilai kearifan budaÂya yang bersifat lokal dan provan dengan nilai-nilai keagamaan yang ersifat universal dan skral. Namun dalam kenyataannya bangsa Indonesia bisa meÂlewati masa transisi itu dengan baik tanpa menimÂbulkan gesekan berarti. Yang perlu dicermati ialah bagaimana menata kedua sistem nilai itu di dalam masyarakat modern atau dalam era yang biasa diÂpopulerkan dengan era reformasi? Untuk idealisasi sebuah bangsa besar seperti Indonesia, mestikah kita mempertahankan harmonisasi nilai-nilai pluralÂistik itu sekalipun berlandaskan kaidah yang batil? Dengan kata lain, mestikah keharmonisan itu disÂingkirkan demi mewujudkan kaedah yang hak? TerÂpulang dari warga bangsa Indonesia sendiri yang harus menentukan. Kelihatannya konsep dasar dan ideologi bangsa, Pancasila mampu menjembatani kedua nilai tersebut.
Wacana rekonstruksi pemahaman agama di daÂlam masyarakat, terutama dalam dua dasawarsa terakhir, kelompok tertentu sering memojokkan nilai-nilai lokal keindonesiaan dituding sebagai praktek bid'ah, khurafat, dan sinkretisme. Padahal, mungÂkin sebagian di antaranya masih relevan untuk diÂtolerir. Sementara kelompok lain menuding nilai-nilai universal keagamaan kebanyak bersumber dari luar Indonesia, sehingga dikesankan imigran asing yang mau menguasai nilai-nilai luhur Indonesia. Pemikiran dialektis seperti ini sebenarnya bukan saja tidak relÂevan untuk diwacanakan tetapi berpotensi melongÂgarkan sendi-sendi keutuhan bangsa. Para FoundÂing Fathers kita yang bukan orang sembarangan sudah melapangkan dada menerima NKRI sebagai bentuk final bangsa Indonesia yang heterogen dan pluralistic ini. Hal-hal yang dianggap memang betul-betul tidak sejalan atau bertentangan dengan ajaÂran dasar agama khususnya Islam sebagai warga mayoritas mutlak di negeri ini, perlu dilakukan prosÂes bertahap (tadarruj) di dalam menyelesaikannya. Tidak mesti harus melalui jalur pengguntingan atau distorsi yang menyebabkan terjadinya penerimaan "terpaksa" terhadap ajaran Islam. Al-Qur'an sendiÂri membutuhkan waktu 23 tahun untuk mengubah masyarakat, padahal di balik Al-Qur'an ada Tuhan yang memiliki kekuatan "kun fa yakun". Islam adalah ajaran kemanusiaan, karena itu juga harus menemÂpuh cara-cara manusiawi di dalam memperkenalÂkannya. Islam tidak menolerir cara-cara kekerasan di dalam menyampaikan dakwah.