Posisi dan peran ulama di dalam NKRI sanÂgat penting. Bukan hanya sama-sama para umara mendeklarasikan kemerdekaan bangsa tetapi juga hingga saat ini tetap memegang peran kunci di dalam masyarakat. Ada sejumlah peratutan perundang-unÂdangan secara eksplisit menyebutkan nomen klatur Mulis Ulama Indonesia (MUI) seperti dalam UUPerÂseroan Terbatas, UUPerbankan Syari'ah, UUJamiÂnan Produk Halal, dll. Sebailknya pentingnya umara di dalam agama juga ditegaskan dalam Al-Qur’an: "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. KeÂmudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesÂuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriÂman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya". (Q.S. al-Nisa'/4: 59).
Undang-undang dan ayat Al-Qur’an tersebut di atas menjelaskan kepada kita bahwa tidaklah teÂpat mendikotomikan peran ulama dan umara. UmÂara adalah pemimpin eksekutif yang bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan, yang daÂlam menjalankan kepemerintahan itu tidak boleh bertentangan dengan prisip yang dituntunkan oleh agama dan bimbingan para ulama. Sedangkan ulama adalah representasi fungsi kenabian yang bertanggung jawab untuk menuntun masyarakat, termasuk umara, agar tetap di atas jalan yang beÂnar, sebagimana dijelaskan Rasulullah: Al-'ulama' waratsah al-anbiya' (ulama adalah ahli waris Nabi). Ulama adalah representasi dan sekaligus pengawÂal ajaran Al-Quran dan hadis, sedangkan umara lebih kepada implementator dari kebijakan univerÂsal yang digariskan oleh ulama dan tokoh-tokoh agama di dalam masyarakat. Kedua-duanya berÂfungsi untuk mewujudkan masyarakat yang ideal, sebuah masyarakat yang mandiri dan berjalan di atas landasan dan prinsip yang benar. Tidak boleh satu sama lain mengklaim diri lebih benar atau lebÂih berperan. Keduanya ibarat satu mata uang yang memiliki dua sisih yang berbeda.
Kehadiran, fungsi, dan peran ulama di dalam konteks nation state, fungsinya berbeda-beda di setiap negara. Ada negara yang memberikan fungÂsi pengawasan dan sekaligus penentu kebijakan secara mutlak, dalam arti rumusan kebijakan peÂmerintah (umara) harus mendapatkan persetujuan dan legitimasi terakhir dari otoritas ulama. Negara seperti ini antara lain Negara Republik Islam Iran, Afganistan dulu di bawah Taliban, dan beberapa Negara Islam lainnya. Ada juga yang negara yang menempatkan ulama sebagai simbol tata kelola negara tetapi pemerintah (umara) lebih dominan di dalam penentuan kebijakan. Di dalam konstitusi jelas masih dicantumkan peran ulama di dalamnya. Negara seperti ini ialah Brunei Darussalam dan sejumlah negara mayoritas berpenduduk muslilm lainnya. Di Indonesia, peran ulama jelas dan sudah menjadi kovensi. Meskipun ulama tidak dicantumÂkan di dalam UUD 1945 tetapi semangat PembuÂkaan UUD 1945 tetapi turunan konstitusi ini dalam bentuk UUsudah memberikan pengakuan secara eksplisit ulama, sebagaimana disebutkan di atas. Kita mengenal ada majlis-masjlis agama, seperti Majlis Ulama Indonesia untuk agama Islam(MUI), Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) untuk agama Protestan, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) untuk agama Katolik, dan majlis-majlis agama lainÂnya. Dalam urusan hukum positif merupakan doÂmain pemerintah (umara) sedangkan domain huÂkum agama secara detail merupakan domain MUI atau majlis-majlis agama lainnya. ***