Pancasila & Nasionalisme Indonesia (24)

Pancasila Dan "Negara Islam"

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/nasaruddin-umar-5'>NASARUDDIN UMAR</a>
OLEH: NASARUDDIN UMAR
  • Rabu, 23 Agustus 2017, 08:52 WIB
Pancasila Dan "Negara Islam"
Nasaruddin Umar/Net
NEGARA Islam adalah salah ­satu konsep yang sedemikian banyak dikaburkan pengerti­annya oleh para pihak. Selain definisi juga kriteria yang da­pat disepakati tentang sebuah negara Islam juga semakin su­lit dicapai. Apakah yang akan diukur populasi penduduknya, eksistensi pemimpinnya, atau kekuatan pengaruh muslim di negeri itu? Apakah yang secara tekstual dalam konstitusinya menyat­akan Islam sebagai Agama Negara, Negara Islam, atau hak-hak istimewa yang diberikan kepadanya? Lebih tidak jelas lagi jika populasi muslim di sebuah negara berimbang dengan kelompok agama lain. Apakah prioritas ukurannya simbol atau substansi? Banyak Negara secara simbolik sebagai Negara Islam (atau muslim) tetapi eksistensi syari'ahnya masih jauh dari maqashid al-syari'ah. Sebaliknya ada negara tidak mengeksplisitkan Islam sebagai agama negara atau hak-hak istimewa lainnya, tetapi substansi ajaran dan syari'ah dengan bebas dilaku­kan di sana.

Dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, karya Al- Mawardi berusaha menyederhanakan pengertian Kepala Negara itu sebagai: Khalifah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa siyasah al-dunya (Kepala Negara ialah seorang pewaris Nabi untuk menjaga keutu­han agama dan kehidupan dunia). Sikap yang sama juga ditunjukkan Ibn Qayyim al-Jauziyah di dalam Igatsah Allahfan, yang menganggap urusan ke­beradaan Kepala Negara dalam suatu Negara tidak masuk wilayah akidah dan ibadah, tetapi masuk di dalam wilayah ijtihadi manusia. Di dalam Al-Qur’an sendiri pernah diisyaratkan ada sosok Kepala Nega­ra atau Kepala Pemerintahan non-muslim, yakni pe­nyembah matahari (Q.S.al-Naml/Q.S.27:24), yaitu seorang perempuan bernama Ratu Balqis, dipuji di dalam Al-Qur’an sebagai: "pemilik pemerintahan su­perpower" (laha 'arsyun 'adhim/Q.S.27:23) dan ne­gerinya dilukiskan dengan: "baldatun thayyibah wa Rabbun gafur" atau negoro kang lohjinawi, toto ten­trem kerto raharjo. (Saba’/Q.S.24:15). Kehebatan Ratu Balqis dikisahkan panjang lebar di dalam tiga surah dalam Al-Qur'an (Saba', al-Naml, dan al-An­biya'). Mengapa ia mendapatkan pujian sedemikian hebat, padahal para nabi tidak ada yang mendap­atkan predikat seperti itu. Nabi Sulaiman menjadi rival Ratu Balqis tidak mendapatkan predikat itu, padahal, ia mempunyai kemampuan untuk mem­bangun koalisi dengan jin dan burung (Q.S.27:17), kemampuan melakukan mobilitas dengan cepat, karena ia dapat 'merekayasa angin' (Q.S.21:81), kemampuan untuk melakukan eksplorasi di dasar laut (Q.S.21:82), kemampuan untuk berkomunikasi dengan hewan dan serangga (Q.S.27:18), termasuk memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan setan (Q.S.21:82).

Rahasia keberhasilan Ratu Balqis yang ditonjol­kan di dalam Al-Qur'an ialah kemampuannya di da­lam membangun etika politik di dalam memimpin masyarakat Saba'. Ia memeraktekkan prinsip-prin­sip demokrasi yang santun, transparansi yang be­radab, keadilan yang bertanggung jawab, kejujuran yang sejati, diplomasi yang agung, dan keteladan­an yang tinggi. Sikap ini tentu saja disambut den­gan sikap santun oleh para pembesar dan rasa cin­ta dari masyarakat. Bagi kelompok ini, lebih utama dipimpin oleh seorang non-muslim tetapi islami, ketimbang seorang muslim tetapi tidak islami. Kel­ompok moderat mengidealkan kiranya segenap warga NKRI tidak terjebak kepada simbol dan atribut agama secara formal, tetapi lebih mengacu kepada kenyataan bahwa sekiranya di dalam suatu kondisi ada seorang yang lebih memenuhi syarat jauh melebihi kriteria ideal yang dimiliki calon mus­lim, maka sebaiknya sang calon ideal secara sub­stansial itu lebih berhak. Namun kendalanya ialah di dalam Fikih Siyasah ada mazhab yang berpendapat bahwa Kepala negara itu representase dari Ulil Amr. Sedangkan fungsi Ulil Amr dalam Fikih Siyasah amat penting karena juga merangkap sebagai Wali Hakim, yang akan berfungsi sebagai wali perkaw­inan bagi seorang gadis muslimah yang akan kawin tetapi tidak memiliki wali nasab (genealogis). Se­mentara Fikih Islam mensyaratkan seorang yang akan berfungsi sebagai Wali Hakim harus muslim, sebagai persyaratan wali dalam Hukum Perkawinan Islam. Jika syarat ini dilanggar maka berakibat fa­sakh atau rusaknya perkawinan. Perkawinan yang fasakh akan berakibat perzinahan jika hubungan tetap dilanjutkan.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA