Dalam kitab Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, karya Al- Mawardi berusaha menyederhanakan pengertian Kepala Negara itu sebagai:
Khalifah al-nubuwwah fi hirasah al-din wa siyasah al-dunya (Kepala Negara ialah seorang pewaris Nabi untuk menjaga keutuÂhan agama dan kehidupan dunia). Sikap yang sama juga ditunjukkan Ibn Qayyim al-Jauziyah di dalam Igatsah Allahfan, yang menganggap urusan keÂberadaan Kepala Negara dalam suatu Negara tidak masuk wilayah akidah dan ibadah, tetapi masuk di dalam wilayah ijtihadi manusia. Di dalam Al-Qur’an sendiri pernah diisyaratkan ada sosok Kepala NegaÂra atau Kepala Pemerintahan non-muslim, yakni peÂnyembah matahari (Q.S.al-Naml/Q.S.27:24), yaitu seorang perempuan bernama Ratu Balqis, dipuji di dalam Al-Qur’an sebagai: "pemilik pemerintahan suÂperpower" (laha 'arsyun 'adhim/Q.S.27:23) dan neÂgerinya dilukiskan dengan:
"baldatun thayyibah wa Rabbun gafur" atau negoro kang lohjinawi, toto tenÂtrem kerto raharjo. (Saba’/Q.S.24:15). Kehebatan Ratu Balqis dikisahkan panjang lebar di dalam tiga surah dalam Al-Qur'an (Saba', al-Naml, dan al-AnÂbiya'). Mengapa ia mendapatkan pujian sedemikian hebat, padahal para nabi tidak ada yang mendapÂatkan predikat seperti itu. Nabi Sulaiman menjadi rival Ratu Balqis tidak mendapatkan predikat itu, padahal, ia mempunyai kemampuan untuk memÂbangun koalisi dengan jin dan burung (Q.S.27:17), kemampuan melakukan mobilitas dengan cepat, karena ia dapat 'merekayasa angin' (Q.S.21:81), kemampuan untuk melakukan eksplorasi di dasar laut (Q.S.21:82), kemampuan untuk berkomunikasi dengan hewan dan serangga (Q.S.27:18), termasuk memiliki kemampuan untuk bekerjasama dengan setan (Q.S.21:82).
Rahasia keberhasilan Ratu Balqis yang ditonjolÂkan di dalam Al-Qur'an ialah kemampuannya di daÂlam membangun etika politik di dalam memimpin masyarakat Saba'. Ia memeraktekkan prinsip-prinÂsip demokrasi yang santun, transparansi yang beÂradab, keadilan yang bertanggung jawab, kejujuran yang sejati, diplomasi yang agung, dan keteladanÂan yang tinggi. Sikap ini tentu saja disambut denÂgan sikap santun oleh para pembesar dan rasa cinÂta dari masyarakat. Bagi kelompok ini, lebih utama dipimpin oleh seorang non-muslim tetapi islami, ketimbang seorang muslim tetapi tidak islami. KelÂompok moderat mengidealkan kiranya segenap warga NKRI tidak terjebak kepada simbol dan atribut agama secara formal, tetapi lebih mengacu kepada kenyataan bahwa sekiranya di dalam suatu kondisi ada seorang yang lebih memenuhi syarat jauh melebihi kriteria ideal yang dimiliki calon musÂlim, maka sebaiknya sang calon ideal secara subÂstansial itu lebih berhak. Namun kendalanya ialah di dalam Fikih Siyasah ada mazhab yang berpendapat bahwa Kepala negara itu representase dari Ulil Amr. Sedangkan fungsi Ulil Amr dalam Fikih Siyasah amat penting karena juga merangkap sebagai Wali Hakim, yang akan berfungsi sebagai wali perkawÂinan bagi seorang gadis muslimah yang akan kawin tetapi tidak memiliki wali nasab (genealogis). SeÂmentara Fikih Islam mensyaratkan seorang yang akan berfungsi sebagai Wali Hakim harus muslim, sebagai persyaratan wali dalam Hukum Perkawinan Islam. Jika syarat ini dilanggar maka berakibat faÂsakh atau rusaknya perkawinan. Perkawinan yang fasakh akan berakibat perzinahan jika hubungan tetap dilanjutkan.