Idealnya kontrol antar keduanya terukur denÂgan mengacu kepada kondisi objektif bangsa. Jika negara berada dalam kontrol ketat agama, maka ketika itu negara subordinasi dari agama dan menjadilah negara itu sebagai negara agama, seperti yang pernah ditampilkan sejumlah negara agama, seperti negara Republik Islam Iran, PakiÂstan, Afganistan, dan negara-negara lainnya.
Sebaliknya, jika negara mengontrol ketat agama, maka agama akan menjadi subordinasi kekuatan negara yang diwakili pemerintah. Jika ini terjadi, dikhawatirkan bisa terjadi dua hal. PerÂtama, agama dirangkul dan dijadikan kekuatan leÂgitimasi oleh penguasa untuk meraih loyalitas dan dukungan. Kedua, agama dijadikan target atau sasaran kebijakan, dan sama sekali tidak diberiÂkan kesempatan untuk memperoleh eksistensi dan pengaruh luas di dalam masyarakat, karena agama dianggap sebagai rival yang juga menunÂtut loyalitas masyarakat.
Ketika sebuah rezim memperalat agama seÂbagai kekuatan legitimasi untuk mengukuhkan kekuasaan, maka pada saat itu agama akan tampil dengan wajah garang. Ini mengingatkan kita ketika paruh pertama rezim Orde Baru yang mengontrol agama sedemikian kuatnya. SeoÂlah-olah agama, menjadi bagian dari ancaman strategis nasionalisme yang perlu dimata-matai. Berbagai akronim menakutkan ikut mengambil bagian, seperti komando jihad, kelompok funÂdamentalis, aliran sesat, NII, dan akronim lainÂnya. Aktivis agama seringkali diperhadapkan dengan institusi negara yang menakutkan sepÂerti Kopkamtib yang pernah memiliki kewenanÂgan amat luas itu. Yang ideal sebenarnya ialah agama menjadi partner aktif pemerintah di daÂlam mewujudkan cita-cita NKRI.
Sebaliknya jika sebuah rezim memperalat negara sebagai kekuatan legitimasi guna menÂgukuhkan kekuasaan maka saat itu agama akan ditekan sehingga dianggap sebagai ancaÂman nasionalisme yang amat berbahaya. NegÂara bisa jatuh ke dalam negara totaliter yang menganggap nilai dan ajaran agama diangÂgap sebagai rival nilai-nilai negara yang selaÂlu harus dicurigai. Akibatnya negara bisa jatuh menjadi negara sekuler. Sejarah seringkali berÂulang. Ketika sang penguasa memegang kenÂdali agama dan digunakan sebagai kekuatan ekstra untuk melegitimasi kekuasaan maka di situ akan terjadi bencana kemanusiaan yang mengerikan. Betapa tidak, manusia akan dipakÂsa tunduk di bawah otoritas penguasa. SiapapÂun yang berusaha membangkang dari otoritas itu bisa berarti malapetaka baginya. Peristiwa yang menimpa Galileo yang harus menjadi tumÂbal dari kekejaman raja sering dijadikan contoh akan bahayanya jika agama menjadi stempel legitimasi penguasa.
Idealnya agama dan Negara saling mengonÂtrol dalam rangka mencapai cita-cita dan tujuan luhur bangsa. Jika hal ini bisa dicapai maka cita-cita dan tujuan agama dan Negara bisa dicapai secara parallel. Satu sama lain saling mendukung dan tidak terkesan ada persaingan satu sama lain. Agama dan negara memang berpotensi berhadap-hadapan satu sama lain karena keduanya menuntut loyalitas penuh dari obyek yang sama. Kita sangat yakin IndoneÂsia yang berdasarlan Pancasila dan UUD 1945 akan berjalan serasi dan saling mendukung satu sama lain. Agama memberikan energi spirÂitual terhadap negara dan negara memberikan energi fisik kepada agama, dan pada akhirnya bangsa ini menuju menuju b
aldatun thayyibah wa Rabbun gafur. Allahu a'lam.