Agama juga menjanjikan ketenangan, kedamaian, kearifan, keadilan, dan ketenteraman keÂpada pemeluknya. Namun itu semua bisa terjadi jika agama diberi peran efektif untuk memberikan pencerahan terhadap umatnya. Persoalannya sekarang, siapa yang bertanggung jawab untuk mengaktualkan fungsi pencerahan agama di dalam masyarakat? Efektif atau tidaknya sebuah agama mencerahkan dapat diukur bagaimana peran dan partisipasi tokoh dan pemeluk agama. Jika agama semakin menyatu dengan pemeluknya berati pencerahan agama efektif. Sebaliknya jika agama dan pemeluknya semakin berjarak maka pertanda pencerahan agama itu tidak efektif. Apalagi nilai-nilai agama dan Negara berhadap-hadapan, sudah pasti ada sesuatu yang salah, menyalahi konsep dasar yang telah dirumuskan oleh the founding fathers kita.
Fenomena dalam kehidupan masyarakat juga bisa diukur, yaitu apa kata agama dan apa yang diÂlakukan pemeluknya? Searahkah program-program yang diterapkan UUD 1945 atau sumber-sumber hukum lainya? Jika masih berseberangan, misalnya program pembangunan negara berseberangan dengan ajaran agama, atau sebaliknya, ajaran-ajaran agama tidak sejalan bahkan menjegal tujuan pembangunan negara, maka pada saat itu ada perÂsoalan konseptual yang harus segera diatasi. Jika tidak maka keduanya bisa berhadap-hadapan yang pada saatnya akan membingungkan masyarakat. Kenyataannya sedang terjadi fenomena yang tidak menggembirakan, paling tidak terdapat fenomena yang kontradiktif, di dalam masyarakat kita hubunÂgan antara agama dan pemeluknya. Memang sedang terjadi kesemarakan beragama, tetapi tidak diikuti dengan penghayatan dan kedalaman makna. Akibatnya sering kita menyaksikan adanya fenomena kepribadian ganda (split personality) bagi umat beragama, khususnya umat Islam.
Di kalangan umat Islam sering ada yang berada di persimpangan jalan. Dalam urusan agama seolah mereka mengesankan agama terlalu dogmatis seÂmentara realitas sosialnya begitu rasional. Agama dirasakannya lebih membatasi sementara realitas kehidupannya begitu liberal. Agama dikesankan terlalu berorientasi masa lampau sementara lingÂkungan profesinya sangat berorientasi masa depan. Pranata sosial keagamaan dirasakannya begitu konservatif sementara lingkungan kerjanya sedemikian canggi.
Norma-norma agama dirasakannya sedemikian statis dan terkesan kaku sementara dunia kerjanya sedemikian dinamis dan mobile. Suasana batin keagamaan dikesankan amat tradisional sementara dunia pergaulan seharai-hari di tempat kerja dan lingkungannya sedemikian modern. Kajian-kajian keagamaan dirasakan terlalu tekstual sementara kajian ilmu-ilmu umum sedemikian kontekstual. Pendekatan-pendekatan agama terkesan begitu kualitatif-deduktif sementara pendekatan keilÂmuan sosial sedemikian kuantitatif-induktif. Split personality ini menurut Clifford Geertz, berpotensi melahirkan berbagai kemungkinan, antara lain: Reformasi sporadis atau gradual, reformasi radikal/ liberal, revivalisme-puritanis, revivalisme-radikal, termasuk teroris, atau tidak tahu menahu apa yang terjadi di luar dirinya.