Nasionalisme Indonesia difahami sebagai sebuah konsep kesatuan yang tersusun dari berbagai unsur keberagaman. KeberagamanÂnya diikat oleh sebuah kesatuan yang kokoh, melalui persamaan sejarah sebagai penghuni gugusan bangsa yang pernah dijajah selama berabad-abad oleh bangsa lain, dalam hal ini Belanda dan Jepang. Kehadiran kolonialisme, setuju atau tidak, telah memberikan andil yang penting untuk menyatukan bangsa Indonesia, sebagai sesama warga bangsa yang mengaÂlami nasib penderitaan yang sama. Di samping persamaan sejarah, pluralisme Indonesia juga diikat oleh kondisi objektif bangsa Indonesia sebagai suatu negara bangsa yang menjunjung tinggi azas kebersamaan, baik kondisi objektif maupun kondisi subjektif. Kesatuan kebangÂsaan ini juga biasa diistilahkan dengan nasionÂalisme Indonesia.
Realitas masyarakat Indonesia yang terdiri atas berbagai unsur dengan subkulturnya masing-masing lalu menjalin kesepakatan menampilkan diri sebagai suatu komunitas yang utuh. Berbeda dengan masyarakat heterogen yang unsur-unsurnya tidak memiliki komitmen ideÂologis yang kuat. Masyarakat pluralisme tidak hanya sebatas mengakui dan menerima keÂnyataan kemajmukan masyarakat, tetapi pluralÂisme harus difahami sebagai suatu ikatan dan pertalian sejati sebagaimana disimbolkan daÂlam Bhinneka Tunggal Ika (bercerai-berai tetapi tetap satu). Pluralisme juga harus disertai denÂgan sikap yang tulus menerima kenyataan kemÂajmukan itu sebagai hikmah yang positif. Di sini hadis Nabi Muhammad mempunyai arti yang amat penting, yaitu "perbedaan yang muncul di antara umatku adalah rahmat".
Interaksi dinamis--bukan indoktrinasi aktif dari penguasa--dari realitas budaya yang berbeda melahirkan sintesa dan konfigurasi budaya keinÂdonesiaan yang unik. Budaya keindonesiaan ini kelak menjadi wadah perekat (
melting pot) yang efektif. Bilamana interaksi dinamis terjadi dalam masyarakat, maka unsur-unsur lokal dan primorÂdial, seperti suku, bangsa, agama berposisi seÂbagai kekuatan daya penyatu (
centripetal). Akan tetapi, jika interaksi dinamis tidak terjadi dan seÂbaliknya yang terjadi adalah indoktrinasi, maka unsur-unsur tersebut akan muncul sebagai daya pemecah-belah (
centrifugal).
Penerapan Fikih Kebhinnekaan sebagaimana digagas warga Nahdliyin dan sejumÂlah ormas Islam lainnya tidak semudah yang dibayangkan. Alam bawah sadar masyarakat bangsa Indonesia sudah tertanam berlapis-laÂpis pengalaman masa lampau, apalagi dengan isu dan wacana formalisme keagamaan, seperÂti fikih Islam. Diperlukan pendekatan sosiologis dan psikologis lebih terprogram untuk mengemÂbangkan formalisasi hukum agama, sungguhÂpun itu menggunakan istilah Fikih KebhinneÂkaan, yang sepertinya sesuai dengan kondisi objektif masyarakat yang berbhinneka.