WAWANCARA

KH Ma'ruf Amin: Penggunaan Dana Haji Harus Dapat Persetujuan Dewan Syariah MUI

Selasa, 01 Agustus 2017, 10:53 WIB
KH Ma'ruf Amin: Penggunaan Dana Haji Harus Dapat Persetujuan Dewan Syariah MUI
KH Ma'ruf Amin/Net
rmol news logo Rencana Presiden Jokowi menggunakan dana haji lebih besar lagi untuk membiayai proyek infrastruktur memicu kontroversi. Banyak kalangan menentang rencana ini, mengin­gat umat pun belum merasakan penuh manfaat dari pengelolaan dana haji. Kesejahteraan dan pembangunan fasilitas ibadah bagi umat Islam pun dipandang masih jauh dari cukup. Sementara banyak kalangan menilai boleh-boleh saja dana haji dimanfaatkan untuk proyek infrastruktur.

Berikut ini pandangan Ketua Umum MUI sekaligus Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU), KH Ma'ruf Amin terkait rencana Presiden Jokowi itu. Selain itu, Kiai Ma'ruf juga mengomentari tuntutan Jamaah Ahmadiyah Indonesia di Kuningan, Jawa Barat yang menginginkan kolom agama di e-KTP dituliskan Islam. Berikut penuturan Kiai Ma'ruf kepada Rakyat Merdeka;

Apa tanggapan Anda men­genai wacana penggunaan duit calon jamaah haji yang masih dalam antrean untuk pembiayaan infrastruktur di Indonesia?

Tidak ada masalah itu. Sekarang ini kan memang sudah dipakai melalui sukuk, surat berharga syariah negara untuk digunakan atau diinvestasikan pada pembangunan. Ndak apa-apa itu, kan ada ujroh (upah)-nya dan itu sudah mendapat fatwa dari Dewan Syariah Nasional MUI. Jadi hal itu sebenarnya bukan wacana, memang sudah sejak lama dilakukan. Mungkin nanti diperbesar saja, kalau sekarang melalui sukuk, nanti bisa digunakan untuk proyek lapangan terbang, pelabuhan, itu nggak ada masalah.

Kalau ditinjau dari hukum Islam, tidak ada masalah?
Iya, tidak ada masalah. Kan jamaahnya sudah menyerahkan kepada Kementerian Agama untuk dikelola, sudah mewakil­kan untuk penggunaan dana itu. Misalnya penggunaannya di ma­na, nanti mendapat persetujuan dari Dewan Syariah Nasional MUI. Memang yang sudah dilakukan itu baru investasi di sukuk.

Dengan adanya perubahan penggunaan, apakah diperlu­kan pembaruan fatwa?
Kalau belum ada fatwa yang akan ada fatwa, tapi kalau sudah ada fatwanya tinggal diopinikan syariah (pernyataan kesesua­ian) saja.

Misalnya, fatwa al-ijarah al-maushufah fi al-dzimmah yang artinya melakukan ijarah (akad penyaluran dana untuk pemindahan hak guna atas suatu barang dalam waktu ter­tentu dengan pembayaran sewa, antara perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa dengan penyewa tanpa didikuti pen­galihan kepemilikan barang itu sendiri, red) terhadap proyek-proyek yang akan dibangun.

Tapi itu semua tergantung Kementerian Agama mau digu­nakannya kemana? Bisa dide­posito yang sesuai dengan sya­riah, lalu sekarang ini investasi di sukuk tapi baru sebagian dan belum diperluas untuk apalagi, nah nanti misalnya untuk pem­bangunan, itu ndak masalah. Jadi Kemenag itu melakukan transaksi atas nama jamaah. Sekarang juga kan sudah ada badan yang sudah ditunjuk untuk mengelola dana haji itu.

Tapi penggunaan dana haji seperti ini sudah diterapkan oleh negara lain?
Justru di Malaysia itu (da­na haji) dipergunakan untuk perkebunan, LRT (Light Rail Transit). Kalau dipergunakan untuk perkebunan justru itu sangat berisiko. Tapi kan ka­lau dipergunakan untuk sektor pembangunan infrastruktur dan negara yang menggunakannya, itu lebih aman, kecuali nega­ranya bangkrut.

Kita punya sejarah tentang mangkraknya pembangunan infrastruktur, sehingga ada pihak yang khawatir hal serupa bisa saja terjadi saat dana haji digunakan untuk membiayai infrastruktur. Bagaimana itu?
Itu kan sudah diperhitung­kan dengan matang. Dana haji yang digunakan pun yang tidak mengganggu kebutuhan un­tuk keberangkatan haji. Kan yang digunakan itu dana haji yang regular, jadi bisa dihitung, berapa dana yang masuk setiap tahunnya, itu yang digunakan. Jadi ada dana haji yang tetap, itu tidak digunakan. Lagipula, dana haji setiap tahunnya itu kan menambah dari pendaftar baru dan dari investasi yang sudah dilakukan sebelumnya.

Soal lain. Jamaah Ahmadiyah di Kuningana Jawa Barat meminta agar kolom agama pada e-KTP mereka dituliskan beragama Islam, bagaimana MUI menanggapi tuntutan itu?
Ya kalau menurut fatwa MUI, mereka itu kan masuk ke dalam Islam yang menyimpang.

Beredar kabar bagi jamaah Ahmadiyah yang ingin menu­liskan Islam di e-KTP harus mengucapkan dua kalimat syahadat lagi, itu langkah yang tepat atau salah?
Iya, karena memang sudah dianggap keluar dari Islam.

Berarti sudah benar?
Iya sudah benar itu lang­kahnya. Kalau memang mer­eka beragama Islam kan diisi dengan Islam, kalau memang disarankan untuk dikosongkan, berarti memang tidak masuk kel­ompok Islam. Benar itu langkah Kemendagri. ***

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA