Kekecewaan dan kegagalan tidak mesti diirÂingi dengan penolakan diri. Jika kegagalan menimpa diri kita setelah bekerja keras, maka katakanlah: "Inilah aku". Terimalah dirinya sediÂri karena qadha dan qadr seseorang berbeda satu sama lain. Mungkin ada qadha-nya sama tetapi qadr-nya berbeda. Perbedaan antara kedÂuanya ialah qadha merupakan ilmu Allah yang terdahulu, yang dengannya Allah menetapkan segala sesuatu sejak azali. Sedangkan qadar, terjadinya penciptaan sesuatu sesuai ukuran dan timbangan perkara yang telah ditentukan sebelumnya. Qadha ketentuan yang bersifat umum, generik, dan global sejak zaman azali, sedangkan qadr adalah bagian-bagian, mikro, dan perincian-perincian dari ketentuan qadha. Jika beberapa gelas jatuh ke lantai dari ketingÂgian tertentu maka qadha gelas-gelas itu pasti pecah, namun serpihan masing-masing gelas berbeda-beda satu sama lain. Pecahnya gelas-gelas yang jatuh ke lantai merupakan qadha, tetapi serpihan pecahan masing-masing gelas berbeda-beda satu sama lain, itu disebut qadr.
Tidak ada orang yang betul-betul sempurna, seperti tidak ada juga orang yang betul-betul serba hina. Selalu ada kelebihan dan kekuranÂgan pada diri setiap orang. Jika kemiskinan dan kebodohan mendera ingatkan dirinya bahwa kita lahir tanpa sehelai benang di badan. SepaÂrah apapun kemiskinan dialami seseorang tidak mungkin memperbaiki kondisi hidupnya dari nol. Minimal sudah pernah mengalami pengalaman dan pengetahuan. Jika kita menatap makhluk Tuhan yang ada di bawah pasti kita masih bisa menemukan kelebihan diri kita. Sehebat apapÂun diri kita pasti masih punya kelemahan jika kita menatap ke atas. Karena itu, jangan pernah mengambil tolak ukur orang lain di dalam menÂgukur diri sendiri. Mari kita mengukur diri dan keluarga kita sendiri berdasarkan apa adanya, bukan bagaimana seharusnya.
Kita tidak bisa memaksa anak kita unÂtuk rengkin di sekolah seperti anak tetangga. Mungkin anak tetangga mengkonsumsi makaÂnan dan minuman standar 4 sehat 5 sempurna dan sanggup mendatangkan guru-guru privat untuk sejumlah bidang studi, tetapi karena ketÂerbatasan dana yang kita miliki, maka gizi anak kita di bawah standard gizi anak tetangga. MenÂgukur anak kita dengan menggunakan ukuran anak tetangga tentu tidak bijaksana, bahkan boleh jadi mendhalimi anak sendiri karena meÂmaksakan kehendak di luar kemampuan anak. Kita perlu menerima kenyataan apa adanya anak kita karena terkait dengan kemampuan kita yang terbatas untuk memfasilitasi anak seperti anak tetangga.
Lihatlah dirinya dalam konteks makro. Di baÂlik kelemahan kita pasti ada sesuatu yang daÂpat kita banggakan. Akan tetapi di balik kebangÂgan kita pasti ada kelemahan mendasar, yang mungkin hanya kita paling tahu. Karena itu, cara paling bijak di dalam mengukur diri pada setiap kejadian menimpa diri kita ialah menÂerima kenyataan diri seperti apa adanya. Kita kembalikan pada diri kita bahwa kita memang bukan orang lain. Kita adalah diri kita sendiri. Dengan demikian, persoalan dan beban hidup akan terasa lebih ringan. ***