Dimensy.id Mobile
Dimensy.id
Apollo Solar Panel

Tercabiknya Kebhinnekaan

 OLEH: <a href='https://rmol.id/about/fritz-e-simandjuntak-5'>FRITZ E. SIMANDJUNTAK</a>
OLEH: FRITZ E. SIMANDJUNTAK
  • Rabu, 24 Mei 2017, 11:49 WIB
Tercabiknya Kebhinnekaan
Ilustrasi
SAAT Pilkada DKI Jakarta 2012, PDIP dan Gerindra menduetkan Jokowi-Ahok. Langkah tersebut merupakan terobosan luar biasa.  Karena Jokowi hanya seorang walikota dan Ahok pernah menjabat Bupati Belitung dan anggota DPR. Sementara persoalan membangun DKI Jakarta begitu kompleks.

Tetapi Jokowi-Ahok berhasil mengurai persoalan pembangunan di DKI Jakarta dan melakukan begitu banyak perbaikan di segala bidang. Kepercayaan masyarakatpun tumbuh. Dan hal ini membawa Jokowi, yang kembali diusung PDIP pada pemilihan Presiden 2014, ke kursi RI 1.  Mengalahkan Prabowo yang utamanya diusung Gerindra.

Bekerja di Jakarta sejak 2012, Jokowi yang kemudian di tahun 2014 menjadi Presiden RI ke 7 digantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Ahok juga dikenal sebagai figur yang bersih, anti korupsi, pekerja keras, berani, profesional, terbuka, toleransi, fokus. Bersama beberapa kepala daerah lainnya seperti Ridwan Kamil, Tri Rismaharini, Abdullah Azwar Anas, Dedi Mulyadi, dan beberapa kepala daerah lainnya, mereka telah memberikan harapan positif di masyarakat bahwa ke depannya Indonesia bisa lebih cepat maju. Karena karakter dan komitmen untuk rakyat mereka mirip dengan Jokowi-Ahok.

Terobosan PDIP dengan mengajukan Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta 2017-2022 ternyata tidak berlanjut. Pasangan Anies-Sandi berhasil memenangkan kursi DKI 1 dan 2. PDIP tentu meratap sedih. Selain tidak bisa melanjutkan terobosan dalam membawa calon pemimpin yang terbukti membawa perubahan cepat dan mengedepankan kepentingan masyarakat. Ternyata menurut kabar bahwa di balik kemenangan Anies-Sandi ada figur JK yg sebenarnya diusung PDIP mendampingi Jokowi pada tahun 2014 lalu. Apabila ini benar, seperti kasus Anies yang bersedia diusung Prabowo, memang benar adagium yang menyatakan tidak ada kawan dan lawan dalam politik. Yang ada hanya kepentingan saja.

Dalam sistem politik demokrasi, terbentuknya pemerintahan adalah untuk kepentingan masyarakat umum. Bukan kepentingan golongan, pribadi, kelompok. Meskipun pemerintahan itu dibentuk melalui proses pemilihan umum.

Lewat pemilihan umum berarti masyarakat setuju untuk memberikan dana yang dibayarkan melalui pajak atau pendapatan lain lainnya untuk biaya gaji, kantor, uang operasional, tunjangan, pelatihan dan segala kebutuhan yang diperlukan oleh sebuah pemerintahan. Rakyat juga setuju akan arah pembangunan yang akan dilakukan oleh pemimpinnya. Bahkan rakyat juga turut membiayai anggota legislatif dan yudikatif agar berlaku adil dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dengan demikian setiap ptoses pemilihan kepala pemerintahan akan membawa kesejahteraan dan rasa aman dan nyaman bagi rakyatnya.

Sayangnya proses demokrasi dalam pilkada DKI Jakarta telah mencabik kebhinekaan yang sudah menjadi kesepakatan kita sebagai bangsa Indonesia dalam bingkai NKRI. Imbas tercabiknya kebhinekaan sampai kepenjuru dunia. Bahkan PBB dan beberapa organisasi internasional seperti Amnesty International turut memberikan pandangannya. Selanjutnya JK menjadi sibuk sampai harus meyakinkan dunia lewat ceramahnya tentang Islam Moderat di Oxford Center for Islamic Studies London saat melakukan kumjungam kerja. untuk memberi kuliah umum. 

Bahkan belakangan ini baik Jokowi dan JK membuat pernyataan yang intinya meminta masyarakat agar terus menjaga kebhinekaan dan keharmonisn. Hal itu dilakukan Jokowi setelah bertemu dengan beberapa tokoh agama. Sementara JK menyatakan agar masjid jangan dijadikan tempat kampanye.  Pertanyaan kita adalah mengapa hal itu dilakukan setelah pilkada? Mengapa pemerintah, Panwaslu, KPU, Bawaslu dan aparat lainnya tidak mengambil tindakan tegas atas penggunaan SARA selama kampanye?

Tapi sudahlah. Kenyataan tersebut merupakan konsekuensi sistem demokrasi yang kita pilih. Di mana pemerintah pilihan rakyat ternyata lebih mementingkan kepentingan sendiri. Akibatnya bukan saja pemimpin yang baik dan berkarakter seperti Ahok yang dijatuhkan dengan mencabik kebhinekaan melalui isu SARA, tetapi uang APBN dan APBD pun dikorupsi oleh aparat pemerintahan dan politisi yang duduk empuk di pemerintahan.

Tumbangnya Ahok bukan saja kerugian bagi Jakarta, tapi juga Indonesia. Sudah bisa diduga keberhasilan menggulingkan Ahok akan memberi kepercayaan lawan politik Jokowi untuk merebut kursi RI 1 di tahun 2019. Model kampanye yang sama akan dilakukan mereka yaitu menggunakan isu SARA dan PKI. Karena topik kinerja dan anti korupsi ternyata tidak berhasil.

Tentu saja meskipun pemerintah sempat lengah dalam menjaga kebhinekaan, kita masih tetap berharap agar pemerintah benar-benar lebih tegas menindak pencabik kebhinekaan Indonesia. Karena ketegangan di masyarakat pada pemilihan Presiden 2019 akan terulang. Group WA pecah, keharmonisan keluarga terganggu, pertemanan menjadi luntur, dan media sosial akan penuh berita hoax. selain itu bisa saja rumah ibadah kembali digunakan sebagai tempat kampanye.

Yang mengkhawatirkan adalah apabila di saat ketegangan di masyarakat berlangsung, kelompok teroris menggunakan kesempatannya untuk merusak keamanan dan kenyamanan tinggal dan hidup di bumi pertiwi yang kita cintai ini. Kita sangat beruntung hal semacam itu tidak terjadi pada pilkada DKI 2017. Tetapi untuk pilpres 2019, kewaspadaan harus lebih ditingkatkan dan yang lebih penting keharmonisan berbangsa harus sama sama kita jaga. Kita cinta NKRI !!! [***]

Penulis adalah sosiolog dan tinggal di Jakarta.

Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.

ARTIKEL LAINNYA