Ini karena pilkada putaran pertama berjalan damai, pasangan Ahok-Djarot memperoleh suara terbanyak, dan tingkat partisipasi masyarakat pemilih meningkat. Sekaligus hal ini menunjukkan bahwa di sebagian besar masyarakat Jakarta memilih kebhinekaan itu sangat penting dalam kehidupan demokrasi dan bernegara.
Padahal kita tahu menjelang dan selama masa kampanye petahana Ahok mendapat gempuran luar biasa dari beberapa sisi. Mulai dari kasus pembelian tanah RS Sumber Waras, tuntutan penistaan agama, reklamasi, aksi Bela Islam 411, 212, dan 112 dan publikasi masif untuk tidak memilih pemimpin non muslim. Bahkan akhir akhir ini ada masjid yang dilarang mensalatkan jenazah orang muslim yang memilih Ahok.
Yenny Wahid dalam seminar "Bhineka Indonesia Modal Sosial Bernegara" di FISIP UI tanggal 17 Februari lalu engungkapkan beberapa hal penting dari hasil penelitian Wahid Institute.
Pertama, meskipun masyarakat berperilaku radikal, melakukan sweeping, sebenarnya masih relatif kecil atau sekitar 600 ribuan pernah terlibat radikalisme. Namun potensi dan bersedia bersikap radikal angkanya cukup mengkhawatirkan. Yaitu sekitar 11 juta orang muslim. Bahkan ketika Wahid Institute meneliti anak-anak sekolah yang termasuk pintar, ternyata 68 persen dari mereka menyatakan siap berjihad. Lebih dari itu ada sekitar 73,5 juta orang muslim punya sikap intoleransi terhadap perbedaan.
.
Adapun kelompok masyarakat yang biasanya menjadi sasaran radikalisme, yaitu LGBT (26,1%), Komunis (16,7%), Yahudi (10,6%), Kristen (2,2%), Syiah (1,3%), Wahhabi (0,5%), Budha (0,4%), Cina (0,4%), Katolik (0,4%), dan Konghucu (0,1%). Mengapa mereka menjadi radikal ? Antara lain karena secara masif melalui media sosial terpapar informasi keagamaan yang berisi kecurigaan dan kebencian, serta karena memahami agama hanya secara literalis.
Beruntung Indonesia masih mempunyai ideologi dan prinsip yang kuat dalam menjawab tantangan intoleransi dan radikalisme ini, yaitu 4 pilar kebangsaan. Adapun 4 pilar kebangsaan itu adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar, Bhineka Tunggal Ika, NKRI. Sehingga tidak heran kalau 72%Â masyarakat menolak kekerasan dan radikal atas nama agama, 67,3% mendukung demokrasi dan 82,3% menyatakan Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan Indonesia.
Tantangan yang kita hadapi sekarang adalah mengaktualisasikan keempat pilar kebangsaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Karena pada kenyataannya saat proses demokrasi berlangsung, seperti pilkada saat ini, seringkali kita temui ungkapan kebencian yang bisa memprovokasi orang melakukan kekerasan atas dasar etnis dan agama sangat menonjol.
Todung Mulya Lubis mengatakan, meskipun kebebasan berpendapat dijamin menurut Undang-Undang, namun melihat kenyataan belakangan ini, pemerintah perlu melakukan intervensi melalui regulasi yang komprehensif agar ungkapan kebencian secara masif di depan publik dapat dihindari.
Kita menyambut gembira ketika politisi Muslim keturunan imigran Pakistan Sadiq Khan terpilih sebagai walikota London. Meskipun tidak memiliki ideologi Pancasila, namun masyarakat London bisa bersikap rasional dan kebhinekaan. Selama kampanye hampir tidak ada ungkapan kebencian terhadap Sadiq Khan meskipun dia minoritas dan etnis berbeda dengan kebanyakan masyarakat London.
Kita tentu saja berharap bahwa pilkada putaran kedua di DKI Jakarta berjalan damai dan aman. Kita semua harus menghindari ungkapan kebencian dan sikap intoleransi dalam proses pemilihan Gubernur mendatang. Melalui mekanisme politik yang demokratis ini, siapapun pemenangnya, Jakarta bisa menjadi jendela kebhinekaan dunia, untuk menghindari intoleransi agama dan etnis dalam berkampanye
.[***]
Penulis adalah sosiolog yang tinggal di Jakarta
BERITA TERKAIT: