Dalam tinjauan dan informasi yang diperoleh sepanjang hari terakhir masa kampanye telah terjadi pembagian paket sembako berupa minyak sayur, tepung terigu dan sejenisnya dengan harga menukarkan kupon Rp 2.000-Rp 15.000 dengan syarat membawa foto copy KTP dan Kartu Keluarga.
Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto mengingatkan bahaya bagi-bagi sembako menjelang pemungutan suara Pilkada DKI putaran kedua. Kegiatan bagi-bagi sembako dengan timbal balik harus memilih pasangan tertentu tak ubahnya sebagai perilaku koruptif.
BW mengatakan, di masa kini Indonesia sedang membangun demokrasi untuk lebih berkualitas. Pilkada DKI adalah ujian untuk menakar seberapa jauh kualitas demokrasi di Indonesia sejauh ini. Tak seharusnya demokrasi yang telah dibangun lama itu dirusak dengan cara-cara politik uang.
Pilkada DKI, kata dia, harus berlangsung bersih, jujur dan adil. Menurutnya, masyarakat harus diajak melawan politik uang sebagai bagian dari memperkukuh fondasi demokrasi di Indonesia. Sehingga demokrasi haruslah dibangun atas azas kejujuran dan tanpa intimidasi.
Sementara Wakil Ketua DPD RI 2014-2019, Farouk Muhammad menyesalkan acara bagi-bagi sembako sekaligus menilainya sebagai bentuk suap yang dilarang dalam undang-undang. Walaupun sejumlah kegiatan inkonstitusional tersebut sudah ditindak atau dihentikan oleh Bawaslu dan Panwaslu setempat, kegiatan bagi-bagi sembako harus tetap diproses hingga tuntas, transparan dan akuntabel.
Selain itu, Mantan Kapolda NTB ini mengingatkan agar penyelenggara Pemilu atau Plkada dan negara segera merespons setiap temuan atau informasi yang meresahkan dan merusak tatanan demokrasi yang sudah kita bangun dengan susah payah dinegeri ini. Jika pelanggaran hukum dalam Pilkada terus dibiarkan, dia kuatir masyarakat tidak percaya dan bertindak sesuai kehendaknya.
"Bahaya kalau penyelenggara dan negara tidak hadir menegakkan aturan atas pelanggaran berdasarkan informasi masyarakat. Karena dalam masyarakat dengan tingkat ketidakpercayaan yang relatif tinggi, jika informasi demikian tidak direspons dengan baik maka dapat mengundang bekerjanya mesin informal yang destruktif," jelasnya.
Saya mencoba menelaah fenomena bagi-bagi sembako pada masa kampanye Pilkada berdasar ilmu marketing khususnya metode promosi. Apa yang disebut sebagai promosi terdiri dari metode public relations, publisitas, periklanan, personal selling serta sales promotion.
Dari segenap metode promosi, sales promotion dianggap paling tidak etis terhadap konsumen. Lazimnya hanya mereka yang tidak yakin atas mutu produk yang mereka jual yang melakukan sales promotion.
Dengan iming-iming hadiah pada setiap pembelian produk berarti pihak penjual menyesatkan konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan bukan berdasar informasi tentang mutu produk an sich namun sekedar berdasar hadiah yang akan diberikan kepada konsumen apabila membeli produk yang ditawarkan.
Bagi-bagi hadiah pada masa kampanye pilkada termasuk kategori sales promotion. Mereka yang bagi-bagi hadiah pada masa kampanye pilkada berarti menyesatkan rakyat untuk memilih palon tertentu bukan berdasar kenyataan mutu kepemimpinan sang palon namun sekadar berdasar sembako yang dibagi-bagikan ke rakyat dengan pamrih wajib memilih palon yang bagi-bagi sembako.
Bagi-bagi sembako pada pilkada memang benar-benar merusak tatanan demokrasi yang telah dan sedang dengan susah payah ditata kembali sejak masa Orde Reformasi hadir di persada Nusantara tercinta ini.
Andaikata tidak ada yang ingin merusak demokrasi dan menyesatkan rakyat maka pasti tidak ada yang merasa perlu bagi-bagi sembako pada masa pilkada.
[***]Penulis adalah pendiri Pusat Studi Kelirumologi