Sebagai contoh kelirumologi kebijakan lingkungan hidup ditampilkan kasus malapetaka lumpur Lapindo. Ketika ilmuwan dan pemerintah memutuskan bahwa pengeboran Lapindo hanyalah sebatas persoalan teknis, tanpa memperhitungkan bahwa di lokasi tersebut ada manusia, kebudayaan dan kesejarahannya, maka dampaknya adalah kerusakan yang luar biasa dan sukar untuk dipulihkan.
Terdapat banyak sekali penelitian dan kajian yang menunjukkan daya dukung lingkungan Pulau Jawa yang semakin kritis, di antaranya adalah Pulau Jawa memiliki luasan karst yang paling kecil di Indonesia, padahal wilayah bentang alam karst memiliki fungsi hidrologi yang mengontrol sistem ekologi di dalam kawasan.
Permukaan bukit karst berperan sebagai penyimpan air yang utama. Jika terjadi kerusakan karst, akan sukar diperbaharui karena karst adalah bentukan alam sejak 470 juta tahun dan yang terbaru adalah sejak 700.000 tahun yang lalu.
Kondisi hutan di Pulau Jawa juga berada pada titik kritis, karena luasnya semakin berkurang secara cepat. Luas kawasan hutannya tinggal sekitar 24 persen dari luas Pulau Jawa (Puspijak KLH, 2015); Dengan luas hutan dan bentangan karst yang semakin mengecil, Pulau Jawa telah mendapatkan beban sangat berat karena 60 persen populasi penduduk tinggal di pulau Jawa. Penduduk menghadapi ancaman bencana, dengan indikasi semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, abrasi, longsor, dan kekeringan yang tinggi, yang juga diperparah oleh perubahan iklim.
Kerusakan dan melemahnya daya dukung ekologis Pulau Jawa adalah juga karena tekanan dari maraknya pertambangan batu gamping dan pabrik semen terhadap kawasan karst, besar dan kecil, baik yang legal maupun ilegal.
Kendeng Utara adalah suatu potret dari kawasan karst yang bentuknya menyerupai ular naga di Pulau Jawa, dikelilingi mata air dan menyimpan sungai bawah tanah. Kendeng adalah salah satu bumper area bagi resapan air Pulau Jawa.
Itu sebabnya ketika pemerintah menggulirkan kebijakan menambah pabrik semen dan menetapkan wilayah cekungan air tanah (CAT) Watu Putih Rembang sebagai lokasinya; potensi bencana ekologis membayangi para warga. Terutama adalah para petani, yang hidupnya tergantung pada alam, tidak bisa dipisahkan dari tanah, dan secara turun temurun memegang kearifan/ pengetahuan lokal tentang kelangsungan ekologi.
Masuknya industri semen di wilayah ini justru telah mengancam sumber pokok ekonomi petani dan masyarakat desa di sekitar Pegunungan Kendeng Utara dan sekitarnya. Ancaman itu bukan hanya soal kebutuhan air, tetapi juga potensi rusaknya ruang hidup ekosistem pegunungan Kendeng Utara dan ekosistem pertanian secara keseluruhan.
Karena itu, jika pemerintah menetapkan paradigm pembangunan nasional pada konsep “pembangunan dari pinggiranâ€, maka masyarakat desa dan ruang hidupnya mesti didudukkan sebagai subjek utama pembangunan, bukan sebagai obyek. Keberadaan masyarakat lokal dan ruang hidupnya dilindungi oleh Konstitusi dan sejumlah peraturan perundangan Indonesia, bahkan sudah terdapat putusan pengadilan dalam kasus ini.
188 akademisi dari seluruh dunia yang jumlahnya masih terus bertambah berkat kesaktian teknologi dunia maya merekomendasikan agar Presiden Jokowi berkenan membatalkan rencana penambangan semen sebagaimana diamanatkan dalam putusan Mahkamah Agung.
Pembangunan pabrik yang sudah telanjur berdiri harus ditinjau ulang berdasarkan perspektif yang kritikal, dengan prinsip kehati-hatian, agar tidak mengulangi berbagai kesalahan pembangunan sebelumnya.
Para cendekiawan sepakat dalam meyakini bahwa upaya melindungi keselamatan manusia dari bencana kerusakan ekologis yang tidak terbaharui, dan mempertahankan ruang hidup manusia yang berselaras dengan alam, kebudayaan dan peradabannya, jauh lebih berharga bagi masa depan Indonesia jangka panjang, daripada keuntungan ekonomi jangka pendek pada saat ini.
Insya Allah, Presiden Jokowi yang selalu dekat dengan rakyat berkenan peduli atas nasib kedaulatan ruang hidup dan ekologi rakyat Kendeng Utara yang bahkan terkait dengan nasib kedaulatan ruang hidup dan ekologi umat manusia di planet bumi ini.
Penulis adalah pendiri Pusat Studi Kelirumogi dan Sanggar Pembelajaran Kemanusiaan
BERITA TERKAIT: