Ada orang ingin melihat orang lain seperti keakuan dirinya, bukan sesuai dengan esensi universal yang menjadi inti ajaran agama. Kita sering menjumpai orang memaksakan persepsi dan keakuan dirinya diimplementasikan orang lain. Ia kecewa bahkan marah kalau keinginan dirinya berjarak dengan kenyataan. Celakanya, terkadang seseorang menggunakan bahasa agama untuk melegitimasi dan menjustifikasi keakuan diri tersebut, sehingga siapapun yang berbeda dengan dirinya maka salah menurut agama. Atas nama "kebenaran" itu, seseorang bisa menghalalkan yang haram, termasuk menÂgalirkan darah saudaranya sendiri. Kondisi sedeÂmikian ini bukanlah sesuatu yang ideal dan tidak akan pernah menghasilkan sesuatu yang ideal. Kini sudah saatnya kita melakukan interiorisasi ajaran agama. Jika nilai-nilai ajaran agama menÂjadi bagian yang integral, internal, dan inherent di dalam diri setiap individu, maka akan tercipÂta universalitas nilai-nilai ajaran agama di daÂlam lingkungan pacu kehidupan kita. Interiorisasi nilai-nilai luhur ajaran agama ke dalam pribadi akan melahirkan kesadaran kolektif dan univerÂsal. Betapa tidak, karena kita sudah melihat subÂstansi diri sendiri di dalam diri orang lain, bahkan pada seluruh alam raya.
Setiap kali kita melihat orang lain atau apapun yang kita lihat, seolah-olah substansi diri kita juga ada di sana. Seolah-olah kata "I", "You", dan "he/ she/they/it" menjadi tidak relevan lagi. Seolah-olah kata "I", "You", dan "he/she/they/it" larut menjadi (We). Tidak lagi ada kamus "orang lain" di luar diri kita. Kamus aku adalah kamus engkau dan kamus mereka juga. Dengan demikian, lingkungan sosial tercipta sebuah keindahan. Perbedaan yang ada bukan lagi sesuatu yang menyedot energi, tetapi bagaikan ornamen lukisan warna-warni yang inÂdah dan menyejukkan hati dan pikiran. Bukanlah alam in adalah sebuah lukisan, lukisan Tuhan (The Painting of God)? Siapa yang menentang realitas pluralis berarti tidak takjub melihat lukisan Tuhan. Orang yang demikian boleh jadi itulah yang dicap dengan fi qulubihim maradl (dalam hatinya ada yang tidak beres). Jika hal ini berlanjut maka dikhaÂwatirkan berada dalam posisi khatamallah ‘ala qulubihim (Allah mengunci mati hatinya), na’udzu billah.
Sesungguhnya yang ideal ialah proporsional, yakni interiorisasi yang diiringi dengan eksteriÂorisasi. Kita harus terlebih dahulu menginternalÂisasikan nilai-nilai ideal itu pada diri sendiri sebeÂlum menyerukannya kepada orang lain. Nabi mengatakan: Ibda’ bi nafsik (mulailah pada diri sendiri). Allah Swt juga memperkenalkan nilai-nilai Islam sebagaimana terangkum di dalam Al- Qur’an diawali dengan proses internalisasi nilai-nilai substantif (aqidah) yang turun di Makkah, yang biasa disebut ayat-ayat Makkiyyah, lalu disÂusul dengan ayat-ayat legal-formalistis untuk keÂhidupan bermasyarakat di Madinah yang dikelÂnal dengan ayat-ayat Madaniyyah. Sistematisasi penurunan ayat (at-tanzil) berdasarkan kondisi objektif masyarakat menarik untuk diperhatikan. Sebaiknya kita tidak rancu di dalam memperkeÂnalkan ajaran agama.