ADA pelajaran penting bagi kita terhadap sikap dan perÂlakuan Nabi terhadap Panglima Angkatan Perangnya, Usamah ibn Zaid ibn HaritÂsah. Ketika peperangan baru saja usai, tiba-tiba menyeliÂnap seorang musuh mau meÂmasuki wilayah kekuasaan prajurit muslim. Usamah yang pernah dipertanyakan kemampuannya untuk menÂjadi Panglima Angkatan perang karena masih sanÂgat junior, kurang 20 tahun, memergoki dan mengeÂjar musuh tersebut. Musuh itu terjebak di sebuah tebing, sehingga tidak ada lagi jalan keluar. Mundur ada tebing dan di sampingnya ada jurang. Dalam keadaan terdesak tiba-tiba musuh itu memekikÂkan dua kalimat syahadat di depan Usamah. Kita tidak tahu apa maksud musuh bebuyutan ini berÂsyahadat. Usamah ibn Zaid memahami syahadat itu hanya untuk mengecoh pasukan muslim agar tidak membunuhnya. Usamah kemudian menghuÂnus pedang dan membunuh orang tersebut.
Menyaksikan kejadian itu, salah seorang saÂhabat melaporkan kepada Nabi bahwa Usamah membunuh orang yang sudah bersyahadat. MeÂnanggapi laporan itu Nabi marah sekali hingga terlihat urat di dahinya melintang. Usamah diÂpanggil Nabi lalu ditanya kenapa membunuh orang yang sudah bersyahadat? Usamah menÂjawab bahwa pemuda itu hanya sebagai taktik agar ia tidak dibunuh. Ia juga membawa senjata dan sewaktu-waktu bisa mencelakakan pasukan. Ia dibunuh karena diduga syahadatnya palsu. Mendengarkan secara saksama alasan Usamah membunuh musuh yang sudah bersyahadat, maka Nabi mengeluarkan pendapat: Nahnu nahÂkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah Swt yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).
Sikap Nabi ini menunjukkan betapa kita tidak boleh memvonis keyakinan dan kepercayaan orang lain. Jika orang secara formal mempersaksikan syahadatnya secara terbuka, maka kita tidak boleh lagi mengusiknya. Soal ada pelanggaran lain, hal itu yang diproses secara hukum formal. Usamah pun saat itu memohon ampun kepada Rasullullah akan peristiwa itu dan Usamah berjanji akan hati-hati jika menemui peristiwa yang sama terjadi di keÂmudian hari. Jika orang lain dieksekusi maka sesÂungguhnya yang turut korban ialah family terdekat orang itu. Bahkan keluarga yang bersangkutan bisa mengurung diri berbulan-bulan lantaran tidak tahan menanggung rasa malu. Semua orang harÂus hati-hati agar jangan begitu gampang memvoÂnis seseorang sebagai kafir, musyrik, ahlul bid'ah, karena boleh saja vonis itu memantul kepada diri sendiri. Rasulullah Saw pernah bersabda "barangÂsiapa yang menuduh orang lain kafir padahal tidak sesuai dengan kenyataan di mata Allah Swt maka yang bersangkutan akan menerima akibatnya yang setimpal."
Sekali lagi sikap Nabi tersebut di atas sanÂgat penting terutama bagi masyarakat heteroÂgen seperti Indonesia. Heterogenitas di dalam masyarakat mengharuskan kita untuk bersikap hati-hati melontarkan tuduhan atau sangkaan. Boleh jadi target kita satu atau beberapa orang tetapi bangsa dan negara bisa terancam. Para penganjur Islam terdahulu pasti sadar bahwa masih banyak umat yang aqidahnya belum sepÂenuhnya benar tetapi untuk sementara masih tetap dibiarkan karena bukankah yang terpentÂing ialah penanaman aqidah. Menyusul kemuÂdian syari'ah dan akhlaq. Turunnya Al-Qur'an berangsur-angsur, mulai ayat-ayat aqidah yang lebih banyak turun di Makkah kemudian ayat-ayat Syari'ah dan hukum yang lebih banyak tuÂrun di Madinah. Ini artinya pangkalan pendaratan berupa aqidah harus diutamakan agar memuÂdahkan syari'ah dan hukum landing di dalam hati masyarakat. Jika kita tidak taktis dan stratÂegis bisa saja usaha dakwah kita menjadi kontra produktif. Berkembangnya kelompok radikal dan pada akhirnya menjadi teroris diduga antara lain disebabkan tidak sabarnya para muballig dalam merespons karakter umat yang heterogen. Kita semua harus lebih banyak belajar pada taktik dan strategi Nabi dalam berdakwah.
Temukan berita-berita hangat terpercaya dari Kantor Berita Politik RMOL di Google News.
Untuk mengikuti silakan klik tanda bintang.