Ketika Perang Badar, diberikan kebebasan bersyarat oleh Nabi berupa kewajiban mengaÂjarkan keterampilan kepada penduduk MadiÂnah, maka yang ikut di dalam kelas-kelas ketÂerampilan itu bukan hanya umat Islam tetapi juga orang-orang Madinah secara umum, baik yang beragama Islam maupun yang beragama lain. Pilihan-pilihan keterampilan itu antara lain, keterampilan merias pengantin atau salon dan menyamak kulit untuk perempuan. Sedangkan kaum laki-laki disediakan kelas keterampilan membuat senjata, tukang besi, tukang kayu, tukang batu, dan keterampilan khusus lainnya, baik untuk perempuan maupun untuk laki-laki.
Dalam kasus ini juga diketahui bahwa seluruh tawanan perang yang memilki keterampilan bisa menikmati kebebasan dari ancaman hukum adat perang ketika itu, berupa pembunuhan bagi kaum laki-laki dan perbudakan bagi kaum perempuan dan anak-anak. Para tawanan perang yang dibeÂbaskan kerena keterampilan yang dimilikinya, selain menikmati kebebasan mereka juga menÂerima bonus. Mereka juga tidak dipaksa untuk menganut agama Islam. Di sinilah kehebatan Islam, seharusnya diperlakukan hukum perang berupa pembunuhan bagi tentara laki-laki tetapi malah dibebaskan dengan syarat dan syarat itu tidak terlalu berat baginya kerena itu sudah menÂjadi bagian dari kehidupannya.
Dari kisah tersebut juga dipahami bahwa, orang-orang non-muslim sama-sama terlibat secara aktif, baik sebagai murid maupun sebagai guru. Nabi dan para sahabatnya juga tidak mempersoalkan belajar besama antara umat muslim dan non-muslim daÂlam satu subjek. Demikian pula Nabi dan para saÂhabatnya tidak pernah mempersoalkan apa agama guru-guru yang mengajarkan keterampilan itu. Yang pasti di balik menjalani hubungan damai ini serta-merta umat-umat agama lain memilih agama Islam sebagai agama barunya dengan senang hati tanpa sedikit pun paksaan. Dalam Islam pun sudah diteÂgaskan dalam Al-Quran: "Tidak ada paksaan dalam kehidupan beragama."
Perkembangan selanjutnya, yaitu periode Khulafaur Rasyidin, sudah tidak asing lagi guru-guru muslim mengajar ke negeri tetangga yang non-muslim. Sementara pada sisi lain, murid-murid muslim diajari pelajaran-pelajaran khusus oleh guru-guru non-muslim. Keadaan ini berlanÂjut sampai sekarang. Banyak sekali murid-murid muslim mengecap pendidikan dasar, menengah, dan Perguruan Tinggi di sekolah-sekolah atau Perguruan Tinggi milik non-muslim. KeterampiÂlan mengajar umat-umat non-muslim di Madinah betul-betul mengangkat martabat hidup warga Madinah dan sekitarnya saat itu.
Pemerataan pendidikan tanpa membedakan jenis kelamin, etnik, suku-bangsa, agama dan keÂpercayaan menjadi indikator penting suksesnya sebuah Negara bangsa dan umat. Pendidikan harus dianggap sebagai kebutuhan mendasar yang fardlu 'ain bagi setiap individu. Terlalu banÂyak ayat dan hadis yang menyerukan perlunya pendidikan digerakkan di dalam pembangunan masyarakat. Nabi pernah menegaskan: "BarangÂsiapa yang menghendaki dunia maka hendaklah menguasai ilmu pengetahuan, barang siapa yang menghendaki akhirat maka hendaklah menguaÂsai ilmu pengetahuan, dan barang siapa yang menghendaki dua-duanya maka hendaklah menÂguasai ilmu pengetahuan".